🎵12

72 25 8
                                    

"Habis!"

"Ih, nggak bisa hasilnya jelek, masa pipi aku megar banget kaya kebanyakan ragi!"

"Terima kenyataan aja sih."

"Heh, bolu bantat!"

Aku tersenyum bahagia mendengar keramaian di ruang tengah rumah ini. Sudah dua malam memang rumah jadi ramai oleh orang-orang tersayang. Tetapi malam ini berbebeda. Ada tambahan anggota sangat spesial.

"Barang-barang kalian sebanyak itu?"

Masih dengan senyum terpatri aku mengangguk. Mungkin perempuan di depanku ini akan menganggapku aneh, karena kedua sudut bibirku terus tertarik tinggi. Namun aku nggak berniat menyembunyikan kebahagiaan ini. Rasa yang hadir dari momentum yang amat jarang bisa terjadi. Untuk pertama kalinya Gita dan Caca bersedia hadir di malam perpisahanku.

Dan ini akan menjadi hadiah terindah sebelum keberangkatan ku pukul dua dini hari nanti.

"Jadwal cek-up ke Dokter Hartono nanti sesuaikan sama waktu kamu saja. Dan ini surat untuk pengambilan obat bulan depan." Gita mengambil tangan selebaran putih dariku. Dia masih irit bicara, tapi nggak apa, seenggaknya kami bukan berada di situasi panas.

"Oh iya, Senin nanti bisa kamu nanti luangin waktu ke dokter gigi langganan Abah? Aku udah buat janji untuk pembuatan gigi palsu Abah, cuma kan kalau harus nunggu aku pulang kelamaan."

"Bisa. Kalau tidak ada lagi yang ingin di sampaikan aku ke kamar dulu," jawab Gita singkat.

Lagi-lagi aku tersenyum bodoh menatapi punggung Gita yang menjauh. Tidak, tenang. Aku nggak mengidap penyakit penyimpangan seksual. Ini hanya buncahan bahagia karena akhirnya bisa berinteraksi lagi dengan kakak perempuan. Karena ... ya semua orang kompleks ini juga tahu bagaimana buruknya hubungan aku dan anak cucu Abah.

"Teh, sini!"

Abim menyeru dari sisi lain ruangan. Duduk bersama Andrew dan Diah. Nggak jauh dari posisi mereka ada Ibu dan Meira.

Dari waktu ke waktu dua bocah itu terlihat makin akrab dengan Andrew. Bahkan sesekali Meira ikut menggila bersama dua remaja tanggung itu.

"Lagi main apa sih?" tanyaku duduk lesehan di samping Andrew yang tengah mengutak atik sesuatu di ponsel Diah. Tadinya aku ingin duduk di samping Ibu, tapi males karena di sana ada Dhana.

Sejak kejadian di dapur malam kemarin, aku belum bertegur sapa lagi dengan pemuda itu. Kami nggak bertengkar, hanya kecanggungan ini sulit dipecah.

"Tik-tok. Sini ikutan, Teh! Asik loh, Teh Mei aja sampe katuluyan." (Keterusan)

"Aku juga nanti mau bikin akun. Duet sama anak-anak sekolahku yang keren-keren. Tapi sebelum itu Abim mau duet dulu sama Teteh, nggak mau tahu!"

"Dari pada sibuk maksain Teteh kalian, mending yang itu aja dulu tuh. Dari tadi diem-diem wae kaya arca Borobudur."

Aku mengulum bibir menahan tawa, saat telunjuk ibu mengarah nggak malu-malu pada wajah putra sulungnya.

"Ah males, ngajak Aa mah! Nanti cuma ham-hem, ham-hem wae kaya ayam mabok milkita," seloroh Diah membuat kami tertawa. Sedangkan yang menjadi objek utama tetap anteng nggak menggubris sama sekali.

"Nih kalian coba!"

Duo bocil kembali anteng saat Andrew memberi pengarahan cara penggunaan fitur-fitur aplikasi edit foto dan video. Lelaki bermata sipit itu juga membocorkan beberapa trik agar foto dan video yang dihasilkan bisa lebih menarik dan estetik.

"Gak ada yang ketinggalan kan? Kelengkapan safety?"

Meira berpindah duduk di sampingku. Membebankan separuh tubuhnya padaku yang sedari tadi diam-diam mengamati Dhana.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now