🎵6

83 30 7
                                    

Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komen-nya!

Selamat membaca❣️❣️


"Kakak Sena!"

Panggilan itu membuat aku memalingkan wajah ke sumber suara. Dari jauh kulihat Meta berlari menuju padaku yang tengah duduk di pendopo kecil menikmati mentari pagi.

"Why are you still here? Didn't you say you wanted to see us completed the test?"

Aku tersenyum mendengar Meta-si bocah berusia 9 tahun ini sudah bisa mengajukan tanya menggunakan bahasa inggris dengan lebih baik. Meski aksen khas daerahnya masih sangat lekat dalam pengucapan.

Sekolah Meta memang hanya sekolah terpadu biasa dengan bentuk bangunan sederhana. Tetapi guru-guru di sekolah Meta, sengaja menerapkan beberapa aturan yang nggak kalah kompetitif dengan sekolah berbasis negri. Salah satunya dalam kelas berbahasa. Dimana peserta didik diwajibkan berinteraksi menggunakan bahasa yang saat itu pelajari.

Dan jangan salah, meski di sini bangunannya nggak semewah bangunan sekolah di kota, namun basis mata pelajarannya tidak akan ketinggalan. Dan kelas bahasa asingnya pun bukan hanya bahasa Inggris, ada juga Jepang dan Spanyol.

"Ah, right! I almost forgot," jawabku berdiri sambil menepuk-nepuk belakang celana.

"But wait! This time is class Bahasa?" tanyaku, Meta mengangguk bingung.

"So it's means we have to speak in Bahasa Indonesia now, isn't?"

Meta yang tadinya memasang raut tegang perlahan mulai tersenyum riang dan menganggukkan kepala.

"Benar, Meta tak ingat! Ayo, kakak Sena! Nanti beta dihukum sa Ibu Ria kalau terlambat sampai kelas."

Aku menyetujui ajakan Meta. Kami berjalan bergandengan sepanjang jalan menuju kelas dan tentunya diisi oleh celotehan Meta. Dia bercerita tentang betapa gembiranya dia dan ibunya pagi ini, ketika Baro-kakak lelakinya dan para nelayan lain bisa pulang dengan selamat setelah semalaman badai mendera.

"Apa nanti kakak Sena akan mengambil gambar kami lagi?" Tangan Meta menunjuk tas kamera yang tersampir si bahu kiriku.

Belum sempat menjawab, anak-anak di kelas berhamburan menghampiri begitu melihat kehadiran kami di depan pintu kelas.

Beberapa diantaranya bertanya nggak sabaran perihal sama dengan pertanyaan Meta tadi.

"Tentu. Jadi kalian harus semangat belajarnya. Jangan lupa, berdoa sebelum belajar," ucapku mengabsen wajah mereka satu persatu. "Ingat ya, sebelum belajar, bukan untuk tidur. Benarkan Martes, Lukas?"

Kedua bocah yang disebut namanya hanya bisa mesem-mesem salah tingkah diiringi sorakan teman-teman sekelasnya.

Nggak lama Mbak Ria muncul, dan anak-anak digiring masuk.

Senyumku semakin lebar, mendapati mereka semua duduk rapi dan fokus mendengarkan setiap ilmu yang Mbak Ria sampaikan. Mereka juga nggak pernah ragu mengangkat tangan, berebut menjawab lemparan pertanyaan dari Mbak Ria.

Ada miris menyusup hati, kala melihat semangat belajar anak-anak ini hanya dapat terfasilitasi seadanya. Ingin rasanya menyampaikan keluh kesah pada pemimpin yang berkuasa, mengadukan nasib nggak adil yang dialami anak-anak ini.

Masih hangat di ingatan saat pertama kali datang kesini setahun lalu. Mendengar langsung cerita dari Mbak Ria dan para guru yang mengabdi di sini. Di daerah bagian timur Indonesia yang mendapat predikat 3T (terpencil, terluar, terisolir dan kumuh perkotaan). Tentang bagaimana kerasnya usaha mereka meyakinkan para orangtua yang menolak untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Bahkan setelah diberi penjelasan bahwa sekolah itu nggak akan menuntut biaya sepeser pun.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now