🎵17

73 25 18
                                    

"Hati-hati di sana ya, Neng. Jaga kesehatan. Jangan lupa untuk selalu kabari kami kalau ada kesempatan."

Suara serak Abah terdengar berat begitu menitip pesan. Mata tuanya, berkaca-kaca.

Meski sudah sering ditinggal-tinggal pergi namun nampaknya beliau masih belum bisa membiasakan diri. Selain tidak rela, perasaan cemas serta was-was akan keselamatanku semakin membuat ia berat melepasku. Atau ... memang beginilah salah satu konsep kehidupan tentang perpisahan dengan orang tersayang?

"Mbi...." rengekan cempreng itu menarik perhatianku.

Aku berjongkok merentangan tangan menyambut pelukkan Caca.

"Mbi... jangan lama-lama keljanya ya? Nanti Caca susah kalau mau ajak Mbi main."

"Bibi usahakan. Supaya bisa pulang secepatnya, biar bisa ajak Caca main lagi hmm?!"

Caca merengkuh wajahku dan mencium kedua pipi ku. "Caca doain Mbi. Caca bakal minta sama Tuhan supaya Mbi keljanya nggak banyak-banyak."

"Kalau Bibi Sena nggak kerja banyak, nanti nggak bisa jajanin Caca lho," goda Abah pada cucu kecilnya.

"Nggak papa. Caca nanti nggak minta jajan, Caca minta mam enak aja. Boleh ya, Mbi?"

Tatapan dan jawaban polos Caca membuat pagi yang belum menampakkan matahari ini sudah dipenuhi tawa.

Dari jendela taxi, aku kembali menatap Abah, Gita serta Caca untuk terakhir kalinya sebelum kuda besi ini melaju. Kularikan netraku ke jendela atas, di mana kamar Mama Ratna berada. Berharap bisa melihat mama Ratna walau hanya sekilas, namun nihil.

Nyatanya sejak kedatanganku mengantar Abah ke rumah mereka, beliau lebih memilih mengurung diri di kamar.


Aku kembali mengaktifkan layar ponsel. Mengecek pesan terakhir yang ku kirim pada Dhana. Masih sama. Hanya ceklis satu.

Entah dimana pemuda itu berada. Tapi aku harap dia baik-baik saja dan tidak melakukan tindakan ceroboh.

"Terimakasih. Semoga perjalanannya menyenangkan" ujar staff counter.

"Terimakasih," balasku segera mengambil boarding pass dan keluar dari antrian.

Memakai maskerku kembali. Sebelum masuk menuju gate penerbangan aku terlebih dahulu memastikan koper-koperku tidak ada masalah pemeriksaan sebelum masuk bagasi pesawat.

"Senandung!"

"Ya?"

Aku refleks menyahut dan berbalik. Seorang pemuda yang sudah seminggu lebih ini menghilang, dan nggak bisa dihubungi-berdiri tegap di depanku dengan nafas tersengal.

"Dhana?"

"Mau kopi?" tawar Dhana membuyarkan kekagetanku.

Berhubung masih ada waktu 2 jam sebelum take off, jadi aku mengangguk menerima tawarannya. Kami berdua bersisian, berjalan menuju salah satu kafe terdekat yang menjual kopi di sana.

Pada 10 menit awal, kami masih saling membisu. Hingga aku memutuskan mengambil inisiatif, sebab sadar diburu waktu.

"Sengaja miara brewok biar dibilang semakin mempesona?"

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now