🎵16

76 25 28
                                    

Alloooo semuanya! Apa kabar?

Sebelumnya maaf ya, karena mengganggu waktu baca kalian. Ini berhubungan dengan ceritaku.

Walau nggak sempurna ini benar-benar hasil putar otak saya loh ya. Asli bukan jiplak-menjiplak.

Kalau ada kesamaan entah di bagian mana, itu benar-benar hanya unsur kebetulan.

Kita ini makhluk yang pintar. Jadi kalau mau menyampaikan sesuatu yang sopan ya.

Udah ah, gitu aja.
Selamat membaca yorobunnn😄

🎵🎵🎵

Perlahan aku turun dari ranjang dan menyelimuti ibu yang baru saja terlelap setelah lelah menangis.

Berita nggak mengenakkan yang mereka terima mengharuskan mereka pulang lebih awal, dan baru tiba menjelang siang tadi. Membawa emosi dan kekecewaan tentunya.

Pembicaraan dengan keluarga Tata berjalan ricuh. Ayah Tata dengan menggebu-gebu menghajar Dhana- akibat pemuda itu enggan mengakui kebenaran pengakuan Tata. Dhana keukeuh mengatakan kalau dia bukan ayah dari janin yang di kandung Tata. Bahkan Dhana lantang mengatakan, nggak pernah seujung rambut pun dia menyentuh Tata.

Keributan itu membuat ibu pingsan, dan Dhana, bapak menyuruhnya menunggu di perpustakaan sementara beliau mencoba menenangkan ayah Tata.

"Di..." panggilku mendekati gadis yang terlihat duduk menyendiri di meja makan. Diah langsung berhambur memelukku.

"Aa nggak mungkin berbuat seperti ini kan, Teh?"

Aku nggak menjawab, karena aku sendiri nggak tahu jawabannya. Hanya bisa mengelus punggung bergetar Diah.

"Sudah jam satu, kamu sudah sholat?"

Diah mengangguk. Membersit hidungnya yang sudah semerah tomat. Matanya bengkak menandakan dia menangis dalam waktu lama.

"Teteh mau masak makan siang dulu. Kamu mau bantuin apa istrahat?"

"Di bantuin, nggak mau di kamar sendirian, terus over thinking."

"Cuci muka dulu sana!" titahku tersenyum, mengacak pelan poninya.

Kami mulai memasak menu sederhana dengan bahan seadanya. Sebab jangankan memikirkan belanja, kejadian ini bahkan membuat kami kesulitan bernapas.

Namun untungnya, kegiatan memasak ini bisa kembali menghadirkan senyum Diah. Sedikit mengalihkan perhatian Diah dari masalah sang kakak.

Sewaktu makan siang berlangsung, meja makan cuma berisi aku Diah serta bapak. Itu pun berlangsung singkat dan hening.

Kesunyian di rumah pun berlanjut setelah makan siang usai dan aku meminta mereka beristirahat. Nggak mau rasa lelah akibat perjalanan dan stres membuat mereka sakit nantinya.

"Sudah cukup. Ikan-ikannya bisa stres karena kebanyakan makanan" ucapku mengambil alih botol tabung berisi pakan ikan yang hampir kosong.

Dhana hanya bergeming. Dia tadi nggak ikut makan dan malah menyendiri di gazebo belakang rumah.

Ku tarik Dhana agar duduk menyerong menghadapku. Ngilu sekaligus ngeri begitu melihat lebam-lebam dan bercak darah yang mulai mengering dari sobekan lukanya.

Baru kali ini aku melihat wajah mulus Dhana benar-benar bonyok. Meski saat remaja pemuda ini gemar sekali adu jotos, tapi nggak pernah separah ini. Mungkin juga karena tadi dia hanya diam saja menerima amukan ayah Tata.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now