🎵10

76 29 8
                                    

"Sena!"

Sore itu, saat sedang mencuci mobil- kudapati sosok Meira muncul dengan senyum lebar.

Ah, yang dirindukan pulang juga. Padahal hanya tiga hari kami berpisah tapi serasa lama sekali. Memang ditinggal dan meninggalkan itu selalu beda sensasinya.

"Kok kamu tambah item?" ucapku seraya mengulum senyum menghampiri Mei.

"Ish, ini anak! Sambutannya langsung nyelekit banget."

Tangan Mei terulur ke sisi kepalaku. Dia menunjukan gumpalan putih di jari-jarinya. Sepertinya saat menggosok badan mobil tadi, ada busa sabun nyasar ke kepalaku.

"Kamu kalau mau keramas, nggak usah pake sabun cuci mobil juga kali, Sen!" ujar Meira gantian mengolokku, mengelapkan tangannya pada lengan kaosku.

"Masuk duluan sana! Abah sama Uwa nggak ada, jadi nggak usah teriak-teriak."

"Dingin banget sih, Senandung. Emangnya gak kangen? Nggak mau kasih aku pelukkan dulu gitu?"

"Naon sih, meuni garila!"

Mei terbahak saat aku bergidig ngeri karena tingkahnya. (Apa sih, geli banget!)

"Lagian aku belum mandi dari pagi. Yakin mau dipeluk?"

"Jorok banget, Senandung!"

Meira mengernyitkan hidung tanda sebal, sebelum berbalik masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum. Sungguh rindu sekali rasanya pada si gadis kembaran kucing oren ini.

Selesai dengan urusan cuci mobil aku menyusul Meira memasuki rumah. Celingukan bingung sekaligus heran nggak menemukan dia di ruang depan maupun dapur.

"Sena!"

Aku yang sedang mengambil gelas terantuk pintu bufet, saking kagetnya dengan teriakan Meira. Menengok kebelakang, kutemukan dia berlari memasuki dapur membawa sebuah kotak kado yang sudah terbuka sepenuhnya.

Aku nggak merespon cengiran lebar Meira. Memilih menuang air dalam gelas lalu meminumnya dengan santai.

"Please, say yes!"

"No!" Kataku sambil meletakkan gelas minum di meja.

Mei mencebik kesal, "Ini kado buat aku kan? Iya kan?" todongnya berseru riang. "Heh, jawab!"

Melihatku diam saja, perlahan dia menurunkan kotak hadiah yang sedari tadi diangkat tinggi-tinggi, meletakkannya dengan pandangan ngeri.

"Jangan bilang aku beneran buka kado milik orang?"

Tiba-tiba Meira menghentakkan kaki, berjalan cepat ke arahku. Menubruk diriku yang masih duduk di kursi dengan pelukan erat.

"Pokoknya kado itu buat aku. Fix mine! No tawar-tawar," tawanya menggoyangkan tubuh kami ke kanan-kiri. Senang rasanya mendengar dia menyukai hadiah sederhana dariku itu.

"Selamat tambah usia. Wish you all the best. Dan semoga Allah cepat mempertemukan kamu dengan jodoh terbaik, biar aku cepet dapet keponakan," ucapku sembari ku tepuk-tepuk pelan lengannya.

"Aaminn! Paling kenceng pokoknya!"

Setelah kejadian pelukkan, Meira memutuskan dia yang akan mengambil alih tugas utama memasakkan makan malam untuk kami. Aku sempat melarangnya karena takut dia masih lelah. Tapi ya... siapa yang bisa melarang seorang Meira? Jadi biar saja lah, selagi dia senang.

Sepertinya acara organisasi PPD berjalan lancar dan berhasil memulihkan Meira. Menilik dia pulang dengan keadaan lebih ceria, bukan seperti tiga malam sebelum keberangkatan, di mana dia dirundung lara.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now