🎵5

90 33 18
                                    

"Kan, kan! Aku bilangin juga apa?! Udah sih kalian itu tinggal nikah aja apa susahnya?"

Aku melirik malas Meira yang masih saja menertawakan atas kejadian "kepergok" tadi pagi. Sosok yang kuharap hadir sebagai penyelamat, malah baru muncul saat adzan isya berkumandang.

"Ngapain aja kegiatan hari ini?"

Ditilik dari penampilan, Meira tiba bertandang dalam keadaan berantakkan-belum mandi dan kucel. Seperti dia belum sempat pulang kerumah atau memang sengaja ... nggak pulang?

"Hari ini sih kebanyakan di lapangan. Dari ngaji dan main lomba sama anak-anak SMK Pandu. Bagi-bagi masker dan nasi bungkus gratis, sama data ulang buat calon penerima donasi."

Kulihat dia mulai memijit pangkal hidungnya setelah beberapa kali menghirup aroma khas dari botol kecil kosong digenggam. Minyak telon.

Gelagat Meira janggal, dan membuatku berkesimpulan ... Meira kelelahan. Sudah jelas, sih, tetapi bukan lelah fisik yang aku maksud melainkan beban pikiran. Meski aku pun nggak bisa menebak permasalah macam apa yang menggangunya, sampai-sampai psikis-nya terbawa gundah.

"Beneran nginep kan?"

Mei mengangguk dengan mata terpejam.

"Besok masih libur, kita ke pasar malam, yuk?Mumpung uang receh aku masih banyak nih."

"Sombong amat, nih bocah!" Meira melemparkan bantal ke arahku.

"Mau nggak?" Ajakku lagi. Meira menepis tanganku yang menekan-nekan hidungnya dan bangkit dari acara bergoler ria kami.

"Yuk lah! Yang ngajak, bagian mensponsori!"

🎵🎵🎵


"Teu kunanaon Neng?" (Nggak apa-apa, Neng?)

Aku yang hampir menubruk tiang tenda, mendongak menemukan seorang lelaki paruh baya menatap kami khawatir.

"Muhun, Mang. Punten, kenging ngiring ngaso sakeudap?" (Iya, Pak. Maaf, boleh kami ikut istrahat sebentar?)

Setelah mendapat izin dari pemilik tempat, dengan sempoyongan aku menuntun Mei duduk di kursi yang tersedia di sana.

Kami akhirnya sama-sama terdampar di tenda Si Mamang penjual martabak. Menumpang memulihkan stamina setelah turun dari permainan ombak banyu.

Nggak hanya seisi perut yang rasanya dikocok bak gelas arisan, ini kaki lemas dan gemetaran- saking nggak kuat menahan pusing yang mendera. Untung saja semangkuk mie ayam yang aku makan sebelumnya masih aman tersimpan di lambung.

"Hei ... Wonder Ladies, kamu nggak pingsan kan?" Aku menanyai Meira, mengusap punggungnya. Dia masih menunduk memegangi kepala.

Meira mengerang kecil, menggeliat nggak nyaman di tempat dengan kondisi masih nggak sanggup menjawab.

"Kan aku ge udah bilang .. mending naik kora-kora aja."

"Kan penasaran ihh!" Dia merengek sengau.

Aku nggak merecoki Meira lagi. Membiarkan menit-menit berlalu sambil berupaya menetralkan rasa pusing. Ku hitung, sudah ada tiga buah martabak yang diangkat dari cetakan oleh si Mamang menjual, saat akhirnya Meira kembali duduk tegak.

"Kita cari Mak Ecih yuk, Sen! Kangen goreng misro-nya," ujarnya dengan mata terlihat sedikit merah dan berair.

"Emang masih kuat jalan?" Aku bertanya karena khawatir akan kondisinya. Tetapi tanpa mau repot-repot menjawab, Meira malah bergerak mengambil beberapa lembar uang di saku celanaku. Lalu melenggang ke arah si Mamang tukang martabak yang sibuk melayani pelanggan.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن