🎵13

71 25 8
                                    

Hari ini gema takbir berkumandang di mana-mana. Orang beramai-ramai saling mengunjungi, bersilaturahmi saling mohon maaf di hari yang fitri ini.

Suka cita terpancar dari setiap wajah. Begitupun pintu rumah ini- terbuka lebar, menyambut para tetangga yang datang silih berganti. Apalagi posisi Abah yang memang di tuakan di sekitar sini, tamunya pulang satu datang dua. Pulang dua lalu datang lagi sekeluarga.

Takdir semesta, hari ini harusnya aku berada di rumah Om Dani. Akan tetapi adanya musibah yang menimpa Ibu dari Tante Ella, istri beliau, mengharuskan kami membatalkan rencana dan aku memilih pulang ke Karawang setelah menghabiskan beberapa hari di sana.

"Ayo-ayo silahkan dinikmati makanannya."

Ketika Abah dan para tamu asik mengobrol, para anak-anak mendekatiku. Seperti pada umumnya, di hari Raya ada satu momen yang sangat di nanti-nanti. Yaitu pembagian amplop.

"Terima kasih, Teteh."

Aku tersenyum mengelus sayang kepala gadis kecil berbalut kerudung merah yang tengah mencium tanganku, "Sama-sama sholehahnya, Teteh."

"Ih, kan aku dulu!"

"Curang! Kamu kan tadi di belakang!"

Ribut-ribut dari arah belakang, mengundang perhatianku. Terlihat dua bocah laki-laki dorong-dorongan di barisan antrian.

"Yang di belakang, jangan dorong-dorongan!Kan udah janji bakal baris rapih. Masa baru maaf-maafan udah berantem lagi," leraiku memisahkan mereka. "Semuanya dapat bagian kok. Jadi sekarang baikan dulu, ayo!"

Senyumku terkembang, mendapati mereka bersalaman dengan wajah masih cemberut. Anak-anak dan kegemasan mereka.

"Lihat tuh, B, bagi bagi-bagi amplop. Pasti lagi cari perhatian biar dianggap orang dermawan."

Suara-suara itu terdengar dari ibu-ibu yang berkumpul di depan jalan rumah.

"Iya ya, Bu. Padahal mah gak tau, uangnya halal apa enggak?"

"Hiihh... merinding deh. Makanya aku suruh si kecil sama bapaknya buru-buru masuk. Soalnya mereka pro banget sama dia. Aku yok dadi ngeri lek anakku maem duit harom."

Sudah nggak aneh, aku sudah terlalu sering jadi bahan pergunjingan ibu-ibu di sini karena pekerjaanku yang tak mereka pahami atau dengan tema pergosipan lainnya. Tapi yasudah, biarkan saja. Karena rasanya dijelaskan pun akan percuma, mereka sedari awal memang tidak menyukaiku.

Jadi daripada melelahkan diri dengan mengambil hati, aku lebih memilih berlaku damai dengan mereka. Tentunya tetap berusaha bersikap baik dan tidak pilih-pilih kasih kalau ada rejeki.

Bagaimana pun mereka, orang-orang yang mencela kita, mencaci maki kita. Yang mengatakan hal-hal tidak benar tentang kita adalah orang-orang membuat dosa kita lebih ringan dan jalan ke surga terbentang. Iyakan ? Hehehe

"Nu, udah dari tadi kelilingkan? Ada ketemu Teh Mei?" tanyaku pada Ranu, bocah 7 tahun tetangga satu gang Meira.

"Teu acan, Teh. Tadi sih payun bumina seueur motor. Tamu penting apanya? Soalna Uwa Maya oge sampe buru-buru nyauran Uwa Teja." (Belum. Tadi sih di depan rumahnya banyak motor. Tamu penting apa ya? Soalnya Uwa Maya sampai buru-buru manggil Uwa Teja.)

Ucapan Ranu tadi terus membuatku kepikiran tentang Meira. Apalagi sampai sesiang ini sahabatnya itu belum membalas pesan atau ada kabar darinya sama sekali.

"Ngelamunin apa, Neng?" suara ibu mengagetkanku yang terduduk di meja makan.

"Ibu... haduh maaf! Sini biar Sena saja yang bereskan."

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now