Being friends is enough

5.2K 782 32
                                    

Rasanya seperti petir di tengah hari yang cerah. Seperti lubang hitam di tengah indahnya cahaya rembulan. Rasa sakitnya terlalu dalam untuk diutarakan, hingga ia tak tahu bagaimana caranya mengekspresikan.

Ia hancur karena ditinggalkan, tapi ia bersyukur pernah diberi kesempatan. Kesempatan untuk hidup menjadi bagian dari jiwa yang begitu menghangatkan. Menjadi mentari paginya, peneman malamnya, bagai mentari dan rembulan di waktu bersamaan.

She's his galaxy.

Sekarang di saat ia sudah ditinggal pergi, hanya bisa menatap langit jika sedang sedih, ia hanya akan percaya bahwa mereka akan bertemu kembali. Mereka harus bertemu kembali.

Namun jika ia rindu, rindu ingin bertemu, kepada siapa ia bisa mengadu?

***

Sasa tak pernah melihat orang setegar Saga seumur hidupnya. Ayah saja  menangis saat ditinggal orangtua. Ibu juga menangis saat kakek tiada.

Bahkan saat ini pun air mata Sasa terus membasahi pipinya. Ia seperti kehilangan hal besar dalam hidupnya, padahal baru hitungan bulan ia mengenal Mama.

Tapi ia tak pernah sekalipun melihat Saga menyeka air matanya. Sejak awal mengetahui Mama meninggal wajahnya memerah namun air mata hanya membasahi kelopak matanya, tak tumpah, tak jatuh ke pipinya.

Ketika Saga menyetir mobil, hingga menguburi Mama, Saga hanya terus menguatkan orang-orang di sekitarnya. Mengelus pundak Zia yang menangis hingga tak bersuara, mendekap Yerika yang menangis histeris, menenangkan kerabat-kerabat Mama yang menghampiri Saga dibanjiri air mata.

Tak henti-hentinya Saga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang datang, yang selalu memuji kebaikan Mama. "Ga, Mama itu baik banget orangnya. Pasti sekarang hidup tenang di sisiNya."

"Terima kasih, maafin Mama ya tante kalo Mama pernah punya salah."

"Nggak, nggak ada sama sekali!"

Setiap Sasa mendengar, selalu ada saja kebaikan Mama yang diceritakan teman-temannya. Dari pinjaman uang di kala kesusahan, memberi makanan setiap Mama membuat makanan, hingga menjadi teman cerita di hari tua mereka.

Ketika keluarga Sasa datang pun, justru mereka yang lebih histeris dibanding Saga. Saga terus meyakinkan 'Saga kuat kok Ma, Saga nggak kenapa-kenapa'.

How could Sasa describe him in words? If he was ocean, his waves are always calm, he knows rhymes. He never let emotion gets through him. Mungkin karena itu juga Saga selalu memiliki posisi yang baik di kantor. Emosinya selalu terkedali dan itu yang membuatnya tak pernah terpancing caci-maki.

Pernah suatu ketika, ada vendor yang batal bermitra di saat perusahaan mereka sudah menyiapkan sesuai kebutuhan perjanjian, Saga bisa saja meledak marah. Pihak direksi bahkan sampai turun tangan. Tapi dengan kepala dingin Saga membawa kasus ke jalur hukum hingga pihak vendor mengganti rugi.

"Mba, jaga Mas Saga ya kamu! Itu dia Ibu liat nggak berhenti-berhenti nerima tamu, dari pagi sampe malem begini."

Keluarga Sasa memutuskan untuk menginap di rumah Saga, tidur di kamar Mama untuk membantu Saga dan adik-adiknya menyiapkan keperluan-keperluan tahlilan.

Maka dari itu untuk beberapa hari ini, mau tak mau, Sasa dan Saga tidur dalam kamar yang sama. Tak ada rasa jantung berdebar tidur di atas kasur berdua, air mata Sasa bahkan masih menetes kala ia menginjakkan kaki ke kamar Saga.

Kamar pria itu mengingatkan Sasa dengan mimpi kecil seorang pria yang ingin menjadi orang besar. Di dalam kamarnya ada beberapa gambar astronot kala Saga masih kecil dulu yang dibingkai.

Di kabinet, nightstand dan meja kerjanya terdapat bingkai-bingkai kecil berisi foto keluarga. Ada saat ia masih TK dulu, kala kedua orangtuanya masih utuh, ada saat kelulusan SMA Zia, Saga datang dengan Mama. Ada saat Saga lulus kuliah, ia dikelilingi oleh tiga wanita cantik yang menyayanginya.

Sampai di kamar pun keduanya tak saling bicara. Sasa tak tahu harus apa. Sasa terus mencoba membuka suara tapi ia tahu persis bosnya itu seperti apa. Hari-hari biasa pun ia hanya suka bicara jika sedang mood saja, maka jika bersedih seperti ini Sasa malah takut salah bicara.

Mereka pun berposisi membelakangi satu sama lain, terbalut heningnya malam berharap keadaan esok akan lebih baik dari hari ini.

Melebihi berharap Saga bisa tegar, entah mengapa Sasa justru terbayang akan Mama. Ia sudah sendirian di alam sana, tak tahu hidup bahagia atau merana. Kematian seseorang, siapa yang tau nasibnya bagaimana selain dirinya sendiri?

Semoga sama seperti hidupnya di dunia, Mama juga berbahagia di alam yang berbeda.

Tanpa terasa waktu demi waktu berlalu, entah sudah berapa jam Sasa tak bisa tidur. Sedari tadi ia hanya menatap jendela luar yang berada di sebelah kasur Saga.

Sshhrk.

Tiba-tiba Saga terbangun dari kasur, masuk ke dalam kamar mandi di bagian sudut kamarnya. Mungkin ia kira Sasa sudah tidur terlelap, melihat sekarang sudah pukul dua malam.

Hal tersebut pun membuat Sasa berbalik badan dan menatap toilet kamar Saga dalam diam.

Awalnya Sasa masih merenung membayangkan betapa tegarnya pria itu. Menguatkan orang-orang sendirian, memeluk adik-adiknya dengan kehangatan.

Namun saat ia mendengar suara tangisan dari dalam kamar mandi, pertahanan Sasa hancur kembali.

Saga menangis sejadi-jadinya di dalam sana, siluet kecil di sisi atas kamar mandi membuat Sasa dapat melihat bayangan pundak pria itu yang naik-turun sesenggukan.

Suara isakan berat itu. Isakan di dalam kamar mandi yang tak pernah Sasa sangka akan ia dengar saat ini.

Tangisan pria itu tumpah. Tumpah seperti anak kecil yang ingin mengadu kepada ibunya betapa ia sedang merindu. Sasa memang tak bisa melihat Saga, tapi ia tahu pria itu pasti menangis tak keruan. Siapapun dapat merasakan sedihnya dari sekedar suara tangisnya saja.

It was as if Sasa never heard of anyone crying before, that the sound of his cries was killing. It killed her to see him crying in silence, waiting others to sleep first, only to burst his feeling alone.

The way his shoulder was up and down, she could feel how the tears have been in his throat for so long but he forced himself not to cry. Because he knows his surroundings are weaker than him, that he should be the one giving strength.

There was even this one moment where he hold his breathe because the cry was getting bigger and bigger, that he needed to inhale and exhale only to keep it quiet again.

Samar-samar Sasa mendengar Saga memanggil Mama dalam bisikan namun pada akhirnya suaranya kembali kalah dengan air mata yang menderas.

Seluruh ucapan-ucapan Mama langsung menghujamnya, seperti mengetuk relung hati Sasa yang terkunci rapih selama Mama masih ada.

"Tolong jaga Gaga, ya."
"Gaga now have new arms that could embrace him. The one and only, Sarah Anjani."

It's not like Sasa can be the arms he wanted to have. She is, full-conscience, know what kind of relationship they have.

But hearing him silently crying like this, alone, without anyone he could run into, it wrecks Sasa so deep that she wants to keep her promise she made with Mama.

'At least, at least being his friend that listen his sadness is enough.'

The Proposal | A Romantic ComedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang