"Check up istri juga lo?"

5.9K 785 28
                                    

"Terakhir kali intercourse?"

"Tadi malem."

"Seminggu kurang lebih ngelakuin?"

"Tiga kali."

"Favorite sex position?"

"Missionary."

Saga dan Sasa jadi melatih diri mereka di pantry rumah beberapa hari ke belakang sebelum datang ke tempat Tante Brenda bekerja nanti sore.

Berhubung dalam hitungan hari mereka akan berangkat ke USA, mau tak mau mereka mengikuti perintah Tante Brenda. Berbagai kemungkinan pertanyaan sudah mereka latih untuk ditanya. Dari budaya sebelum berhubungan, setelah berhubungan, sampai pada imajinasi-imajinasi pendukung kegiatan.

"Pak saya nggak kuat banget kalo ditanya masalah imajinasi." Sasa dan Saga yang sama-sama memegang sheet jawaban selalu terkekeh melihat pertanyaan nomor 21 dan 22.

Ya, mereka bahkan sampai mencetak sheet untuk berlatih, sudah seperti anak SMA saja mereka, mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi.

"Berdoa aja tante kamu nggak nanya sejauh itu."

Sore harinya ketika mereka sudah di rumah sakit, memang Tuhan mengabulkan doa Sasa karena Tante Brenda sama sekali tidak bertanya 'Kamu suka berkhayal jadi apa nggak gitu to reach peak orgasm?'

Tapi justru yang Tante Brenda lakukan lebih gila dari yang mereka bayangkan. Ia tidak banyak bertanya, capek-capek Sasa komat-kamit siang malam melatih diri memperlancar jawaban. Rupanya bagi tantenya itu, sesi tanya-jawab sudah cukup dilakukan saat kumpul lebaran.

"Sekarang Tante mau periksa rahim kamu aja. Abis itu Tante kasih obat subur." Tante Brenda berkata dengan enteng. "Waktunya pas banget loh Mba. Kalian di Amerika usaha. Nggak lama setelah kalian pulang kan Mas Dio nikah, nanti bawa kabar baik ke keluarga besar."

Modar Sasa di bangku pasien.

Sebenarnya cara cek kesuburan bisa saja dengan USG biasa. Tapi karena Tante Brenda ingin yang lebih akurat, ia ingin secara langsung memasukkan tangannya ke organ vital Sasa.

"Tante mau mastiin bener-bener organ-organ reproduksi kamu. Nggak sakit kok cuma dua jari."

Perawan mana yang tak akan keringat dingin jika diminta seperti itu?

Kali ini, jangankan Sasa, Saga saja jadi ikut takut. Jika Tante Brenda melakukan itu sekarang juga, berarti untuk kali pertama Saga melihat Sasa tak berbusana.

"Eh mukanya tegang banget, biasa aja Mba." Tante Brenda meledek sambil memakai sarung tangan dokter.

Nggak. Sumpah nggak bisa. Sakitnya bakal kayak apa anjir dimasukin jari aduh Tante saya masih nona bukan nyona!!! Sasa ingin menangis rasanya.

"Kamu jangan malu-malu Mba, ini mah emang kerjaan Tante. Banyak kok yang Tante giniin, bukan yang nikah doang bahkan, yang belum nikah juga ada tapi Tante masukinnya jadinya ke lobang belakang."

Sasa tak dapat berpikir. Keringat dingin sudah mengucur di pelipisnya.

"Mba malu-malu banget ya? Atau mau yang masukin jarinya Mas Saga aja?"

ANJIRRRRRR.

"Nggak bisa Mba kan yang paham organ reproduksinya Tante, bukan Mas Saga."

KALAUPUN BISA JUGA SASA NGGAK MAU TANTEEEEE!

Benar-benar seperti hujan deras di tengah teriknya siang. Tau-tau Eugene menelepon HP Saga membuat pria itu bisa beralasan keluar ruangan.

"Tante maaf ada telfon urgent dari kantor, saya keluar dulu ya." Dengan itu pun Saga berlalu. Keluar ruangan Tante Brenda menghembuskan napas lega dan duduk di bangku tunggu yang tak ada siapa-siapa. "Ko makasih banget lo udah nyelamatin hidup gue."

***

Setelah perhelatan panjang di dalam ruang dokter, Tante Brenda akhirnya memutuskan untuk mengecek kesuburan Sasa melalui USG standar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah perhelatan panjang di dalam ruang dokter, Tante Brenda akhirnya memutuskan untuk mengecek kesuburan Sasa melalui USG standar. Jelas saja hal tersebut membawa kecurigaan pada benak seorang dokter kandungan. Kayaknya ada yang aneh nih dari pernikahan mereka.

Setelah dicek kesuburan pun, rupanya rahim Sasa bagus-bagus saja. Tak ada keanehan di dalamnya. Tapi karena tak mau berpikir buruk, biar Tante Brenda tunggu tanggal main setelah keduanya pulang dari Amerika saja.

Toh kalo emang bener dugaan saya, kenapa juga mereka mau bulan madu berdua?

Jadilah Tante Brenda mengizinkan Sasa untuk pulang setelah diberi obat resep dokter.

Tante Brenda pun mengantar Sasa sampai ke depan pintu. Saga yang pura-pura masih sibuk dengan HP-nya langsung bangkit dan berterima kasih, dan mereka pun pergi ke arah lift membelakangi Tante Brenda yang menatap mereka penuh curiga.

"Pak, rangkul saya Pak." Secara berbisik, Sasa mentitah Saga. "Saya curiga Tante Brenda curiga ngeliat kita."

Saga pun melingkarkan tangannya di pundak Sasa. Lalu dengan santainya mereka menunggu lift terbuka dan masuk ke dalam.

Sesampainya di lantai satu pun tau-tau mereka bertemu dengan teman basket Saga yang juga sedang periksa kandungan istrinya. Rumah sakit yang mereka datangi ini memang rumah sakit ibu dan anak sehingga tidak aneh jika yang datang ke sini pasti tak jauh dari urusan kehamilan.

"Woy, Ga?"

"Eh, Albert!"

Setelah bertos ala pria pada umumnya mereka lalu saling bertanya.

"Check up istri juga lo? Ngisi?" Albert yang tengah sendirian rupanya sedang menunggu dipanggil membeli obat. Istrinya masih di ruang dokter mengecek kandungan. "Perasaan kemaren kita ketemu juga deh pas lagi ngurus visa? Bukannya mau liburan lo?"

"Oh iya itu." Saga menunjuk Sasa sesaat. "Justru pengen periksa aja takut dia kenapa-kenapa, just in case aja kan mau jalan-jalan."

"Oooh iya iya, kirain."

Berhubung Saga dan Sasa juga menunggu obat yang telah diresep Tante Brenda, mereka bertiga memutuskan untuk duduk bersama.

Karena sebelumnya mereka bertemu di kantor imigrasi, dan karena Albert tahun lalu pergi ke Disneyland untuk liburan keluarga, jadilah mereka banyak berbicara tentang Amerika. Saga pun bercerita bahwa Sasa pernah tinggal di sana, 'Jadi istri gua nggak excited-excited banget, cuma gue doang yang semangat. Sampe dia tadi malem baru packing padahal kita berangkatnya besok.'

Sasa yang hanya dapat tertawa kecil mendengar percakapan mereka sesekali menoleh ke kanan-kiri, tak menyangka akan seperti ini pada akhirnya. Ada perasaan lembut merasuki hatinya. Perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan perasaan ini tak muncul di hari pernikahan mereka, hari yang seharusnya sakral bagi pasangan mana saja.

Berada di tengah ruang tunggu rumah sakit persalinan, menunggu obat untuk kehamilan, ditemani suami berbicara tentang liburan...

Untuk pertama kali, mereka benar-benar terasa seperti pasangan sungguhan.

The Proposal | A Romantic ComedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang