Empire State of Mind

6.5K 586 60
                                    

"Ladies and gentlemen, welcome to John F. Kennedy International Airport. Local time is 6 o'clock in the evening and the temperature is 27°C ..."

Embusan angin musim panas yang menyegarkan menjadi penyambut Saga dan Sasa turun dari pesawat. Padahal langit sudah bergradasi warna jingga menuju malam, namun semangat yang membara di antara keduanya membuat hari seakan masih siang.

Sasa selalu merasa seperti seorang bintang setiap menginjakkan kaki di Amerika. Namun sore itu jauh berbeda rasanya. Ada bayi besar yang terus tersenyum sejak pramugari mengumumkan tanda pesawat telah mendarat di New York.

Sasa tak pernah menyangka rupanya saat semangat dengan suatu hal, Saga bisa berubah menjadi bayi besar yang terus tersenyum lebar. Saga bahkan tanpa sadar melompat kecil saat berjalan keluar terminal kedatangan internasional, mengatakan ia tak sabar mengendarai mobil yang telah ia sewa di rental bandara.

Sejak jauh-jauh hari, pria itu memang telah merental mobil untuk liburan mereka. Tidak tanggung-tanggung, mobil yang ia sewa adalah Audi S-5 Cabriolet.

A fucking cabriolet.

Keluaran Audi.

Sasa sampai terdiam saat pertama kali mendengarnya. "Isn't it too extravagant?"

Dengan entengnya Saga menjawab, "What's the point of working til' dawn, then?"

Man of taste, indeed.

Rasa semangat yang membakar Saga membuat Sasa jadi ikut senang melihatnya. Ia jadi tidak sabar berkeliling kota New York, me-nyeberangi Brooklyn Bridge sampai ke 42nd Street dengan mobil yang bagian atasnya bisa terbuka itu.

Sasa selalu menyukai New York. Meski saat di Indonesia ia seakan tak tertarik dengan perjalanan mereka, namun hawa The Big Apple selalu sukses membuatnya tersenyum—apalagi kali ini ia datang untuk liburan, bukan untuk mengenyam pendidikan. Bahkan ia dan Saga sudah sepakat untuk tidur sebelas jam lamanya di pesawat setelah mereka transit di Abu Dhabi agar bisa sampai ke New York dengan energi penuh.

Sebenarnya yang membuat Saga senang bukan karena ia akhirnya bisa ke New York, toh negara impiannya adalah New Zealand. Bukan juga karena ia bisa merasakan liburan gratis karena pergi dengan uangnya sendiri pun ia mampu berkeliling dunia. Tapi karena setelah sekian lamanya, ia dapat berlibur tanpa ada embel-embel deadline kerja. Dimana ia tidak akan ditanya mengenai meeting, tidak peduli presentasi yang dijadikan pertanggungjawaban, ia hanya perlu memikirkan bagaimana cara beradaptasi dengan jetlag semata.

"Perlu ini nggak?" Saat mereka hendak mengambil koper, rak besar berisi kumpulan map-map destinasi di New York menarik perhatian Saga. Biasanya jika Saga sampai ke negara baru, peta-peta itulah yang menemaninya melanglang buana.

Namun Sasa menahannya. "Saya hafal New York sebaik saya paham Jakarta, Pak."

"Gotcha." Saga menjentikkan jarinya. Senyumnya membuat Sasa tertawa juga. Benar-benar ajaib, Sasa tak pernah melihat Saga sesumringah itu selama menjadi stafnya.

Semua berjalan sesuai keinginan hingga tiba-tiba Ibu meminta foto keduanya di pesawat. Masalahnya mereka terlalu tenggelam dengan bayang-bayang Amerika hingga lupa untuk foto berdua.

Mereka baru ingat kalau keduanya hanya punya kesempatan satu pesawat bersama saat menuju Amerika, karena saat kembali ke Indonesia Ibu terlanjur memesankan mereka pisah penerbangan Saga di pagi hari dan Sasa di sore harinya. Jadilah mereka berfoto saat di hotel.

The Proposal | A Romantic ComedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang