🌻keberagaman itu indah

106 5 0
                                    

"Kamu emang nggak bisa nolak banget?"

Angkasa sedang di kamar kostan gue malam ini, dengan jaket hitam dan muka kurang tidurnya.

Kebiasaan, suka porsir tenaga.

"Bukan nggak bisa nolak sa, tapi kemarin itu aku emang lagi bingung harus kemana" gue menunduk.

Sekitar setengah jam yang lalu, gue dan Angkasa baru pulang dari Bebek Om Aris di Dago bawah.

Karena Angkasa tidak kunjung membalas kalimat gue, akhirnya gue melanjutkan sesi klarifikasi itu, "kamu lagi ada proker, terus mereka lagi mau pergi juga, ya udah aku ikut aja" tangan gue memainkan ujung rel sleting jaket yang tidak tertutup.

"Nggak bisa emang semalem aja kamu diem di kostan? Nggak keluyuran malem?" walau tidak dengan suara yang membentak, tapi Angkasa membuat seolah kalimatnya adalah satu perintah yang nggak bisa gue lawan.

Apa iya ya gue terlalu sering keluar malem? Gue ingin membantah tapi suara dari mulut gue seolah hilang, tidak ada yang bisa keluar.

Padahal gue cuma nggak mau sendirian, salah ya? Gue tahu rasanya saat ada yang memperhatikan lo intens, seperti yang Angkasa lakukan kali ini.

"Erisha, aku cuma nggak suka kamu diomongin orang-orang" perlahan tatapan intensnya melunak seirama dengan suaranya yang melembut.

Tangan Angkasa mengusap pucuk kepala gue.

"Nanti lagi kalau mau keluar malem bilang sama aku ya, aku yang anter"

Kelas Dasar Sistem Kendali akan dimulai pukul 14.40, itu artinya masih ada waktu sekitar sejam lagi untuk menunggu Pak Jun masuk ke kelas.

Dengan jumlah penghuni kelas yang hanya 34 orang tidak membuat kelas yang gue tempati sepi sunyi, beberapa detik setelah Pak Wira – dosen mata kuliah sebelumnya, keluar dari kelas saja sebagian sudah grasak-ngrsuk ikut keluar kelas.

Tempat tujuan sebagian besar anak kelas gue tentunya adalah Kanel – Kantin Elektro, yang ada di lantai tiga gedung ini.

Tempatnya tidak terlalu besar.

Dengan hanya diisi oleh dua orang penjual, yang pertama ada Bah Hen. Seorang bapak-bapak, ah bukan, kakek-kakek lebih tepatnya yang menjual makanan ringan, air mineral dan juga yang paling penting, rokok.

Kedua, ada juga seorang bapak-bapak, kali ini beneran masih bapak-bapak, kita sering manggil beliau Pak Iman, jualannya makanan yang sedikit berat, batagor.

Kanel ada di paling ujung lorong lantai tiga yang dipisahkan oleh pintu kaca yang sebelah pintunya sudah tidak usah dibuka lagi, karena kacanya yang pecah beberapa bulan lalu.

Pinggirannya dibiarkan tidak tertutup dinding tinggi, hanya dinding setinggi pinggang gue.

Gue nggak tahu ya itu bisa dibilang rooftop atau nggak, tapi semilir angin lantai tiga akan lo rasakan kalau lo siang-siang duduk disitu.

Kalau lo lihat Kanel dari bawah saat pukul 10 pagi, pukul 12 siang atau sekitar pukul 3 sore, yang lo lihat hanya akan kepulan asap.

Bukan, bukan asap dari hasil penggorang batagor Pak Iman, tapi asap rokok.

Apalagi kalau zaman-zamannya UAS sama UTS yang waktu istirahatnya barengan semua kelas, beuh, lo yang punya asma mending jangan masuk situ deh.

Makannya setiap pagi-pagi sebelum mulai kelas, gue akan selalu ke Kanel dengan membekal dua barang wajib, handphone dan minyak wangi.

Fulus bukan jadi barang wajib yang lo bawa ke Kanel, karena kasbon akan menunggu dengan senang hati, ya asal tahu diri aja.

Kuliah Kerja NgebucinМесто, где живут истории. Откройте их для себя