🌻ya buat apa ada hotel?

124 6 1
                                    

Suasana di dalam go-car saat itu canggung banget buat gue.

Gue nggak tahu apakah Yoda merasakan hal yang sama dengan yang gue rasakan atau tidak karena dia memang jarang banyak bicara jika di dalam mobil.

Pandangan mata gue fokus ke jendela, pikiran gue menerawang ke percakapan gue dengan Angkasa beberapa saat yang lalu.

"Aku nggak tahu kalau sekarang handphone nggak bisa dipake buat ngabarin" suaranya yang biasa lembut berubah menjadi serius, gue lupa kalau ada teman Angkasa yang juga dirawat di Rumah Sakit ini beberapa hari yang lalu.

Genggaman tangan gue masih di pergelangan tangannya, "aku baru dapet kabar Yoda kecelakaan jam satu, sa" dengan suara putus asa, gue mencoba menjelaskan.

Angkasa tertawa sinis, "tuh kan, kejadian lagi" gue menyipitkan mata, maksudnya?

"Harus berapa kali aku bilang sama kamu, kalau mau keluar malem itu ngomong. Biar aku yang anter"

Gue tidak bisa menjawab kalimatnya saat itu.

Bukan, bukan karena gue tidak tahu jawabannya apa.

Tapi gue ngerasa kalau ini udah nggak bener.

Sejak kapan seorang Angkasa mempermasalahkan hal-hal yang tidak perlu?

Maksudnya, hey gue juga nggak protes dia nganterin temennya ke rumah sakit tempo hari.

Angkasa melepaskan genggaman tangan gue, badannya yang asalnya menghadap gue berbalik menuju lobi.

Gue berniat mengejarnya, asalnya.

Sebelum gue melihat, dari tempat gue berdiri, ada tanda merah yang sudah sedikit memudar di leher kiri Angkasa.

Badan gue lemas seketika.

Kalau gue nggak inget ada Yoda yang lagi nunggu gue di pinggir jalan dan posisinya lagi sakit, gue rasanya nggak mau pulang ke kostan.

Gue nggak mau pergi ngampus, bodo amat deadline tugas.

Air mata gue sudah hampir turun saat gue merasa ada tangan dingin yang menggenggam tangan gue.

Gue refleks melihat ke arah Yoda, "gue cuma bales apa yang lo lakuin ke gue tadi malem" tanpa melihat ke arah gue, Yoda terus menggenggam sebelah tangan gue dengan kirinya yang tidak pakai gips.

Gue melepas kasar genggaman tangan Yoda.

Kenyataan Angkasa yang juga entah melakukan apa di belakang gue seketika terbesit di kepala.

Tapi mau dilihat dari sisi mana pun, apa yang gue rasakan sekarang itu salah.

Yoda tidak berusaha menggenggam tangan gue kembali, tapi dia merubah posisi duduknya menghadap gue.

Sebelah tangannya menarik badan gue ke dalam pelukannya.

"Gue juga lihat apa yang ada di leher Angkasa tadi"

Seketika tubuh gue lemas di dalam pelukannya, getaran tubuh yang semula tak bersuara perlahan berubah menjadi isakan tangis.

Tangan kirinya mengelus pundak gue.

Di dalam tangisan di bahu Yoda, bibir gue berguman, "Angkasa" entah berapa puluh kali sampai akhirnya gue sampai di kontrakan.

Pikiran Angkasa siang ini campur aduk, kesal, marah, kecewa, sakit hati, bercampur menjadi satu.

Raganya memang ada disini – ruang rawat inap Dinda, tapi jiwanya berkelana entah kemana.

Kuliah Kerja NgebucinDonde viven las historias. Descúbrelo ahora