Mimpi

3.4K 314 20
                                    

Jino semakin kalut saat gadis yang akan ia nikahi ternyata baru lulus sma, adik dari Nayla calon pengantin sang kakak yang katanya memilih pergi ke luar Negri demi mengejar cita-cita. Dan bodohnya Nino saudara kembar pemuda itu justru malah mengantarkannya.

"Tapi dia sudah lulus kok, Jino. Sebentar lagi dia masuk kuliah dan lagi anaknya terlihat sudah dewasa, cantik lagi," hibur sang mami dengan mengusap punggung Jino saat pemuda itu terus memijit pangkal hidungnya.

Jino menoleh. "Apa mami nggak takut, anak mami ini nanti bakal jadi duda? Belum tentu aku bisa menjadi kepala keluarga, terlebih lagi yang aku nikahi ternyata masih remaja, aku mana bisa nafkahin dia," ujarnya, masih sedikit berusaha agar mereka membatalkan rencananya.

"Masalah itu tenang saja, kamu masih tanggung jawab papi. Dan semua kebutuhan istri kamu juga untuk sementara biar papi yang tanggung semuanya," ucap Justin memberi solusi, yang sama sekali tidak menghilangkan kekalutan di raut wajah pemuda itu.

Nena sang mami kembali mengusap punggung putranya. "Yang penting kamu kasih nafkah batin aja, baik-baik sama dia, jangan suka marah-marah," ucapnya dengan menyentuh hidung mancung Jino dengan ujung telunjuknya.

Jino diam saja, pernikahan macam apa yang akan dia jalani kedepannya, terlebih gadis yang katanya bernama Nara ini belum pernah sekalipun dia bertemu dengan dirinya.

"Biar anak buah papi yang urus surat-surat kalian jika memang kamu sudah setuju," ucap Justin dengan mengeluarkan ponsel canggihnya.

Jino menoleh takjub. "Memangnya gadis itu sudah setuju?" tanyanya.

Justin beranjak berdiri, menempelkan ponselnya pada telinga. "Sudah, tinggal nunggu kamu saja," ucap pria itu, kemudian beranjak menjauh saat orang yang ia hubungi merespon panggilannya.

Jino tentu kecewa, dia berharap dapat penolakan dari gadis yang akan dinikahkan itu, tapi ternyata dia malah sudah menerimanya, apa dia tidak berpikir orang seperti apa yang ia nikahi nantinya.

"Benar kamu sudah punya pacar?" tanya Nena lembut, wanita paruh baya yang masih terlihat amat cantik itu menatap putranya dengan bangga, karena Jino mau berbesar hati  menanggung kesalahan sang kakak.

Dengan lemah Jino mengangguk. "Baru tadi pagi jadiannya," ucap pemuda itu.

Nena mengusap rambut bagian belakang kepala putranya, kemudian mencium pelipis pemuda itu. "Maafin mami ya, Jino," ucapnya lirih.

Jino menahan diri untuk tidak meneteskan air mata, membayangkan kekasihnya itu akan kecewa sungguh dia tidak tega, pemuda itu merebahkan kepalanya di pangkuan sang mami, memeluk pinggang wanita itu untuk menyembunyikan raut wajahnya yang amat sedih, masa depannya akan hancur sebentar lagi.

Pemuda itu merasakan usapan lembut di kepalanya, wanita kesayangannya itu terus mencoba menghibur dengan kata-kata.

"Meskipun kamu sudah menikah, cita-citamu tidak boleh berhenti. Mimpi-mimpimu pun tidak perlu diganti, Jino. Jalani saja seperti biasa, bedanya sekarang hati kamu sudah ada yang punya, kamu sudah ada yang urus selain mami," ucap Nena lembut.

Jino tidak menanggapi, gadis sma macam apa yang mau saja dinikahkan dengan seorang pria, bagaimana bisa dia akan mengurusnya, bahkan mengurus diri sendiri saja dia rasa gadis itu belum tentu bisa.

"Nara cantik, Jino. Cantik sekali, kamu pasti akan suka, karena pilihan mami tidak akan membuatmu kecewa," ucap Nena lagi.

Jino mengangkat kepalanya. "Pilihan apa? mami juga terpaksa kan, memang tidak ada pilihan lain," ucapnya.

"Tapi mami sudah suka dengan Nara, anaknya juga baik, sopan dan sepertinya masih polos juga, lucu lagi. Mami jadi ingat Tante Karin dulu." Nena mulai bercerita. "Dulu om kamu benci sekali dengan Tante Karin, tapi karena tantemu itu tidak pernah menyerah menaklukkan hati Om Ardi, sekarang malah om kamu yang benar-benar cinta mati."

Jino sedikit tersenyum sebagai tanggapan. "Tapi aku bukan Om Ardi," sangkalnya.

"Tapi tingkah kamu itu mirip sama dia," balas Nena tidak mau kalah. "Yaudah kamu siap-siap, nanti malam kita ke rumah Nara, biar kamu bisa kenalan," ucap wanita itu. Dan dengan malas Jino pun menyetujuinya.

.

Sampai di kamarnya yang nyaman, Jino melemparkan tas yang ia bawa ke atas kasur, kemudian merebahkan diri di sana. Dia berpikir, sebentar lagi kamar ini bukan hanya dirinya yang akan menghuni, apakah dia sudah siap untuk berbagi lemari, juga selimut dan bantal yang selama ini dia kuasai sendiri. Dan kekhawatiran Jino yang sesederhana itu menandakan bahwa dirinya belum siap untuk menempuh hidup baru.

Pemuda itu kembali terduduk, meraih bingkai foto di atas meja, menatap dua orang yang saling merangkul tersenyum ke arah kamera. Bagai pinang di belah dua, wajah mereka benar-benar sama.

"Bang, lo tega banget si sama gue," gumam Jino, genggaman tangannya ia eratkan pada bingkai foto.

Jika tidak mengenal mereka, pasti akan sulit membedakan keduanya. Tapi tentu saja Jino berbeda dengan Nino sang kakak, Nino Nakula yang memang lebih pintar dari adiknya, menempuh pendidikan sekolah dasar hanya empat tahun saja, kuliah pun tidak sampai tiga tahun sudah mendapat gelar sarjana, tidak disangka saudaranya yang pendiam itu menyimpan beban di hatinya.

Jino bukannya bodoh, hanya saja pemuda itu terlalu santai menjalani kehidupannya, ingin terlihat normal seperti  teman-temannya. Dan tidak pernah iri dengan pencapaian yang didapat oleh sang kakak, toh keluarganya tidak ada yang membeda-bedakan mereka, saat Nino lebih menonjol pada mata pelajaran, Jino justru mendapat prestasi dari bidang olahraga. Pemuda yang supel bergaul itu lebih memiliki banyak teman daripada sang kakak.

Pemuda itu meletakan kembali benda di tangannya, kemudian mengambil ponsel yang terasa bergetar di saku celana.

Sisil: Sore sayang, aku berangkat ke Bandung ya, love you.

Jino memejamkan mata, pesan dari sang kekasih yang belum resmi dua puluh empat jam itu kembali membuat Jino teringat pada nasibnya yang begitu mengenaskan.

Harusnya dia dapat membalas pesan itu dengan semangat, mengatakan untuk berhati-hati dan mengembalikan ungkapan cinta gadis itu dengan kalimat yang sama, tapi untuk kali ini semuanya harus berjalan dengan berbeda. Sungguh dia benar-benar sudah merasa hampir gila.

Keresahan itu membawa Jino terlelap ke alam mimpi, di sana dia mengejar Sisil yang terus berlari, berputar-putar di tengah ilalang dan terus menggodanya untuk mengikuti. Namun kakinya seolah kaku, dia tidak bisa melangkah. Dan saat dirinya menoleh, seorang gadis berambut panjang tampak menggandeng lengannya, wajahnya terlihat samar, kabur oleh cahaya terang yang menyilaukan. Hanya senyumnya yang terlihat cantik, manis dan melemahkan, di dalam tidurnya dia ikut tersenyum.

"Bangun woy, Bang!" Suara berisik itu membuat Jino mengerang terbangun, mengambil bantal dan menutupi telinganya. "Woy bangun Bang Jino, Magrib solat!"

Jino yang mengangkat kepalanya kemudian mengambil bantal untuk ia lemparkan pada adik perempuannya yang cerewet. "Berisik banget lo!" omelnya kesal.

Gadis kelas dua sekolah menengah pertama itu mendekat. "Bang, lo mimpi apa si, senyum-senyum gitu, mesum pasti," godanya yang berhasil membuat Jino  tertegun. "Cepetan bangun, disuruh siap-siap sama mami mau ketemu calon istri. Buruan lah, pen cepet punya kakak ipar nih gue," rengeknya yang memang tidak punya saudara perempuan di keluarga. Karena bahkan anak ke dua omnya juga laki-laki.

Mendengar itu hati Jino kembali ngenes, dia teringat dengan nasibnya yang dirasa mimpi. Dan saat gadis itu terus menarik-narik lengannya, mau tidak mau dia beranjak berdiri.

"Sena?" panggilnya lembut.

"Iya, Bang?" gadis bernama Sena itu mengrjap bingung saat sikap abangnya tiba-tiba berubah.

"Abang nggak mau nikah, bantuin abang kabur, Dek," pintanya memelas dengan mengguncang kedua pundak gadis di hadapannya.

Dengan lucu dan terlihat menjengkelkan, Sena menjungkitkan sudut bibirnya. "Yeee mimpi lo ya, bangun!" ucapnya  menyebalkan, kemudian melangkah ke arah pintu meninggalkan abangnya yang masih berdiri. "Mamiiii! Bang Jino mau kabur nih lewat jendela!" teriak gadis itu.

"Senaaa!" Kemarahan sang abang membuat gadis itu segera berlari ke luar kamar, Jino menghela napas. "Anak siyalan," umpatnya.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now