SAh

2.5K 287 21
                                    

Jino membuka pintu mobil. Mereka sudah sampai di parkiran gedung mewah tempat dimana pernikahan pemuda itu diselenggarakan.

Tiba-tiba saja jantungnya terasa berdebar, sebentar lagi dia akan melepas masa lajangnya. Dan justru merasa sedih karena pengantinnya itu bukan wanita yang ia cinta.

"Ayo, Jino," ajak sang om yang membuat pemuda itu mengangguk.

"Om duluan aja," ucapnya, ketika dia merasakan ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Ternyata video call dari teman-temannya.

Jino menerima panggilan grup dari Ilham dan Nolan, mereka tampak terkejut melihat sahabatnya yang begitu rapi mengenakan jas pengantin.

"Wah gila lo, Ji. Kenapa mendadak banget si ngabarinnya. Mana setengah jam lagi gue ada jadwal asistensi, nggak bisa dateng gue," komentar Nolan. Raut kecewa pria itu terlihat jelas di layar ponsel Jino.

Ilham masih diam saja, sepertinya dia masih mencerna kabar dari sahabatnya, namun kemudian bertanya. "Gue juga ada kelas Mr Simon, apa gue bolos aja kali ya," ucapnya.

Jino menggeleng lemah. "Nggak usah, kalian nggak usah dateng," ucapnya memberi perintah.

"Mana bisa kita nggak dateng ke acara pernikahan sahabat sendiri," protes Ilham, "ntar gue bangunin si Ojan, dia pasti masih tidur sekarang," Imbuhnya.

Jino kembali menggeleng. "Gue minta kalian nggak usah pada dateng, tolong rahasiain dari anak-anak, gue nggak masalah kok. Dan lagi acara ini cuman beberapa jam aja," ucapnya, kemudian berpamitan pada teman-temannya karena dirinya pasti sudah ditunggu di dalam sana.

"Kenapa kamu tidak mau teman-temanmu datang?" tanya Serena, ibu dari Jino yang sedikit membuat pemuda itu terlonjak, tiba-tiba wanita itu sudah ada di belakangnya.

Jino berdehem setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dengan tangan kanan, tangan kirinya masih menggenggam peci yang belum juga ia kenakan.

"Untuk apa mereka dateng, toh ini bukan hari bahagia aku," ucap Jino yang membuat wanita kesayangan di hadapannya itu sejenak tertegun.

Wanita yang biasa dipanggil Mami Nena itu mengusap airmata yang mengalir ke pipi, dengan begitu hati-hati agar tidak merusak riasan pada wajahnya." Kamu harus bahagia, Sayang," ucapnya dengan sedikit bergetar.

Melihat itu tentu Jino tidak tega, dia paling tidak bisa melihat sang mami menangis di hadapannya. Dan mau tidak mau pemuda itu kemudian mengangguk. "Iya, Mi," ucapnya lirih, bersamaan dengan itu, Nena menarik putranya untuk ia peluk, hingga Jino yang memang lebih tinggi dari sang mami kemudian menunduk.

Nena melepaskan pelukannya, mengambil peci dari tangan Jino kemudian memasangkan di kepala pria itu. "Jadi suami yang baik, Jino. Seperti papi yang sayang sama mami, kamu juga harus bisa seperti itu dengan istri kamu nanti," ucapnya memberi nasihat.

Samar Jino tersenyum, meski berat tapi ini adalah jalan hidup yang ia pilih. Dan sebagian keinginannya harus mengalah sampai di sini. Termasuk menjadikan Sisil sebagai istri, kecuali gadis itu mau menerima ketika dia menjadi duda nanti.

***

Nara membuka matanya dengan perlahan, setelah mendapat instruksi dari perias pengantin yang berdiri di hadapannya, bulu mata palsu yang terasa berat membuat gadis itu sulit untuk mengerjap, rasanya benar-benar tidak nyaman, seperti kelilipan. Dan dia harus berpenampilan seperti ini selama beberapa jam kedepan.

"Coba biasakan berkedip, nempel nggak say?" tanya si perias wanita itu dengan ramah. Nara pun menurutinya, kemudian menggeleng, lama-lama dia mulai terbiasa dengan riasan di wajahnya.

Gadis itu sempat terpukau saat menoleh pada cermin, sosok yang ikut tersenyum saat dirinya menarik bibir itu teramat cantik di pandangannya. Dan yang membuatnya nyaris tidak percaya, perempuan cantik di cermin adalah bayangan dirinya.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora