Tentang Nara

3.4K 568 88
                                    

Setelah beberapa saat berdiri di depan pintu kamarnya, dan bingung harus mengetuk atau pergi saja, Jino akhirnya memutuskan melangkah menuju kamar saudara kembarnya.

Ruangan itu kosong tak berpenghuni sejak pria yang usianya hanya berbeda beberapa menit saja dengan dirinya memutuskan untuk pergi. Namun tetap terawat karena sang mami selalu membersihkannya setiap hari.

Jino mengambil bingkai foto di atas meja, memperhatikan raut tampan seorang pemuda yang terlihat sama dengan wajahnya, dia adalah Nino Nakula, saudara kembar yang begitu tega kabur dari pernikahan dan membuat hidupnya kini berantakan.

Tapi Jino kemudian berpikir, Sisil bukanlah wanita yang baik seperti yang ia duga, terbongkarnya niat buruk gadis itu yang ia dengar tempo lalu membuatnya sedikit kecewa, dan mungkin karena itu juga dia melampiaskan kekesalannya dengan menyentuh istrinya.

Namun sebagian dirinya menolak untuk dugaan itu, sedikit demi sedikit, dia memang mulai luluh dengan kegigihan perempuan itu untuk terus bersabar menghadapinya, dan sampai saat ini dia masih belum mengerti dengan perasaannya sendiri.

Jino merebahkan tubuhnya setelah menaruh foto di tangan ke atas meja, sulit sekali dia terlelap malam ini, bayangan sang istri juga adegan panas yang mereka lakukan kemarin malam terbayang-bayang di kepala, dia kembali mulai menginginkannya.

"Siyaaal," erang Jino, merasa kesal dengan dirinya sendiri, bersamaan dengan itu seseorang yang membuka pintu kemudian membuatnya menoleh. "Papi?"

"Nino?" Justin bertanya bingung, berdiri di ambang pintu dengan bantal putih di pelukannya.

"Jino Pi," ralat pemuda itu kemudian beranjak duduk dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kasur.

Justin mendekat, meletakan bantal yang ia bawa ke atas tempat tidur kemudian bertanya. "Sedang apa kamu di sini?"

Sesaat Jino terdiam, tatapannya mengarah pada sang papi yang terlihat kebingungan, "tidur," balasnya singkat.

Justin menggaruk keningnya yang tidak gatal, kemudian duduk di tepi ranjang di sebelah putranya. "Bertengkar?"

Jino tampak ragu untuk menjawab, namun kemudian mengangguk juga. "Papi sendiri mau apa ke ini? Diusir mami?" tanyanya.

Sejenak Justin tertawa pelan, "tidak," ucap pria paruh baya itu. "Sena demam, dia ingin tidur dengan maminya," imbuhnya kemudian.

Jino ber oh tanpa suara, dia tahu saat Sena mengeluh tidak enak badan, karena hari ini pun adiknya itu tidak sekolah.

"Papi mana pernah diusir," sindir Justin dengan menepuk lutut putranya, membuat Jino kemudian menoleh. "Kenapa?" tanyanya saat pemuda itu malah diam saja.

Jino menggeleng, "Hanya salah paham," ucapnya pelan.

"Salah paham jika tidak dijelaskan akan semakin rumit kedepannya," ucap Justin dengan ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur, menaikkan kedua kakinya ke atas kasur. "Cepat selesaikan," usul pria paruh baya itu dengan menepuk pundak Jino.

Namun Jino tetap bergeming, raut wajahnya yang tampak murung membuat sang papi merasa iba, "biarin aja," ucapnya lemah.

Justin menghela napas, putranya terlihat menyimpan beban akhir-akhir ini, dan hal itu tentu saja membuatnya merasa bersalah. "Maafin Papi," ucapnya dengan kembali menepuk pundak putranya pelan.

Jino yang sempat melamun kemudian menoleh pada sang papi yang tiba-tiba meminta maaf, "untuk apa?" tanyanya.

Justin menarik tangannya kembali, "pernikahan ini membuat tatanan hidupmu menjadi kacau, dan papi merasa bersalah untuk itu," ucapnya.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now