Kisah Ini

1.9K 239 21
                                    

Seorang pemuda tampak menundukkan kepala, duduk di tepi ranjang dengan mendengarkan pria paruh baya di hadapannya yang terus berbicara.

"Sampai kapan kamu akan terus bersembunyi di sini Nino?" Justin kembali menemui putranya lagi, sejak anak buahnya menemukan keberadaan anak itu satu hari setelah pernikahan Jino, dia selalu datang untuk membujuk Nino agar mau pulang. "Mami kamu, Sena, Oma, semua merindukanmu," Imbuhnya dengan memasukkan kedua tangannya pada saku celana, berdiri menatap Nino yang masih duduk di hadapannya.

Nino tidak pernah menyangka sebelumnya, jika sang adik akan mau menggantikan dirinya menikah, dan hal itu tentu saja membuatnya amat merasa bersalah. "Kenapa Papi membiarkan Jino menikah." Hal itu sebenarnya sudah pernah ia tanyakan, hanya saja tidak mendapat jawaban dari pria di hadapannya, Nino mendongak. "Apa karena ingin menutupi kesalahan kami?" tanyanya.

"Menurut kamu?" Akhirnya Justin memberikan tanggapan atas pertanyaan pemuda itu. "Sebelumnya papi lebih mempercayaimu sebagai seseorang yang bertanggung jawab," imbuhnya, kemudian terjeda. "Papi kecewa," ungkap pria itu, melangkah menuju pintu dan pergi meninggalkan Nino yang membeku.

Nino mengusap wajahnya gusar, sebelumnya dia tidak pernah berpikir akan jadi serumit ini, kesalahan terbesarnya hanya tidak jujur pada orangtuanya bahwa ia tidak mau dijodohkan dengan seorang gadis yang belum dia kenal sebelumnya.

Pada awalnya Nino menerima perjodohan itu, hingga Nayla calon istrinya mengungkapkan ketidak setujuan, gadis itu mendapat beasiswa di luar Negri untuk kelangsungan karier yang ia inginkan.

Hal itu tidak membuat Nino kecewa, karena toh dia juga belum mulai belajar untuk mencintainya, mereka hanya saling kenal nama, dan saat ia mengatakan ingin mengakhiri rencana pernikahannya itu, Nino kemudian menyetujuinya.

Dia berpikir semuanya akan baik-baik saja, pernikahan yang gagal itu tidak akan berimbas pada siapa-sipa selain hanya membuat malu keluarga, yang mungkin hanya beberapa saat akan mereda, dan kembali normal seperti biasa.

Nyatanya mendapat kabar adiknya yang menggantikan mengisi kursi pelaminan, dengan adik dari Nayla yang juga tidak tau apa-apa, Nino benar-benar merasa amat berdosa. Jika saja pada saat pernikahan itu dirinya tidak ikut mengantarkan Nayla kabur ke Bandara, dia pasti akan rela jika mungkin harus menikahi adik dari calon istrinya, dan sampai saat ini pasti Jino tidak akan menanggung semuanya, adiknya itu saat ini pasti sangat kecewa.

"Jino, maafin aku," gumamnya lirih.

***

Nara terus berjalan mengikuti suaminya menuju parkiran, senyum di bibirnya masih saja ia tahan, di samping tangga tadi, suaminya itu mengumumkan pada Sisil bahwa hubungan mereka harus berakhir, Jino lebih memilih untuk mempertahankan rumah tangganya.

Gadis itu sempat terkejut saat suaminya mendapat tamparan di pipi dari Sisil, dan pria itu justru diam saja, Nara tau mungkin saat ini bukan pipi Jino saja yang terasa perih, mungkin hatinya juga teramat sakit sekali, tapi dia bisa apa, salah pria itu yang sejak awal tidak mau tegas dengan perasaannya.

Nara mengerjap terkejut saat nyaris menabrak tubuh sang suami yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, pria itu kemudian menoleh.

"Tolong kamu jangan geer," ucap Jino menunjuk hidung Nara hingga nyaris menyentuh ujungnya.

Nara yang reflek memundurkan kepala, menepis telunjuk pria itu. "Apa sih, Bang," tukasnya yang merasa tidak terima. "Kenapa kamu mutusin Sisil, katanya sayang banget," imbuhnya.

Sesaat Jino terdiam. "Aku cuman ngerasa hubungan aku sama Sisil nggak beres aja, tapi meskipun gitu, belum tentu hubungan aku sama kamu pun bisa bertahan juga."

"Kenapa?" Nara tidak niat bertanya sebenarnya.

"Ya siapa tau kamu nemuin soulmate kamu dan merasa lebih baik dari aku, biar gimanapun juga hubungan kita  belum sepenuhnya bisa sama-sama diterima." Jino sendiri merasa ragu saat mengutarakan kalimat itu.

"Tapi aku udah terima kamu kok," tukas Nara, dan membuat pria di hadapannya itu terdiam.

Jino jadi berpikir, kenapa gadis di hadapannya ini amat mudah mengambil keputusan. Mana lempeng banget lagi mukanya. "Ya siapa tau nanti kamu berubah pikiran," ucapnya berbalik dan kembali melangkah menuju parkiran.

Nara mengejarnya hingga kini berada di hadapan pria itu. "Tapi kenapa aku deket sama Randy kamu malah nggak suka?" tanyanya sedikit menggoda.

Jino berdecak sebal. "Ya Randy mah beda lah, pokoknya jangan dia," ucapnya, yang malah membuat gadis di hadapannya itu jadi tertawa, namun Jino tidak menanggapinya.

Kini Nara berjalan mensejajari suaminya, kemudian menyenggol lengan pria di sebelahnya. "Bang?"

"Hm?"

"Kita kan udah nikah ya, katanya pasti bakal ada timbul perselisihan, kalo mau berantem marahnya gantian yah," ucap Nara menawarkan kesepakatan.

"Jadi?" Jino bertanya.

"Jadi kalo aku marah kamu diem, kalo kamu yang marah nanti aku yang diem, biar masalahnya cepet selesai."

Jino tertawa, menepuk pelan puncak kepala sang istri di sebelahnya. "Kalo segampang itu, di dunia ini nggak bakalan ada kasus perceraian dong ya," sindirnya.

Nara berdecak. "Emang gampang kok," ucapnya.

Jino tidak lagi menanggapi gadis itu, naik ke atas motornya kemudian mengambil helm yang tersangkut pada kaca spion, dan mengenakannya di kepala Nara. "Tapi ada kok pasangan yang hampir nggak pernah berantem," ucapnya.

Nara mengerutkan dahi. "Siapa?" tanyanya.

"Keluarga Nabi Adam dan istrinya," ucap Jino sembari menyalakan mesin motor.

Nara yang sudah naik ke jok belakang sedikit memiringkan kepala. "Masa sih, sok tau banget kamu," tukasnya.

"Ya soalnya dia nggak punya mertua, apalagi saudara ipar, mau berantem sama siapa coba?"

Nara yang tertawa reflek menjitak helm yang dikenakan suaminya. "Lebih tepatnya mah Bang, Mami Hawa nggak pernah mikirin uang belanja deh kayaknya."

Keduanya tertawa, kemudian melesat ke jalan raya, perlahan Nara melingkarkan kedua tangan pada perut suaminya, dan pria itu diam saja.

Jino memutuskan untuk belajar menjadi suami yang baik. Bagaimanapun juga, dia sudah bersumpah untuk menjaga gadis itu dan membahagiakannya.

"Ra?"

"Iyah?" Nara sedikit menelengkan kepala, menyimak apa yang ingin dikatakan suaminya.

"Mau makan dulu nggak? Apa langsung pulang?" Sedikit berteriak Jino menawarkan pada istrinya.

"Nggak usah. Makan di rumah aja," balas Nara. Saat merasa takut Jino akan risi dengan kedua lengan Nara yang melingkar di perutnya, perlahan dia lalu melepaskannya.

Tidak disangka, Jino meraih pergelangan tangan Nara dan kembali menaruh di perutnya. "Pegangan, nanti kamu jatoh."

Nara tentu saja merasa senang, dia lingkarkan lagi kedua lengannya pada perut pria itu, lalu menempelkan dagu di pundaknya.

"Hari ini aku seneng bangeet."

"Kenapa?"

"Soalnya Bang Jino udah baik banget."

"Dibilang jangan geer." Jino kembali mengingatkan istrinya.

"Biarin geer juga." Dari kaca spion, Nara bisa melihat pria itu tersenyum, dia pun ikut tersenyum setelahnya.

***

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now