Yang Terbaik

2.5K 345 45
                                    

Jino mengendarai motornya dalam keadaan hujan, tentu saja dia tidak menangis meski airmatanya dapat tersamarkan. Dia justru merasa lucu, sejak mendengar obrolan Sisil bersama teman-temannya itu, dia terlihat tidak kecewa, malah seolah menemukan cara untuk lepas dari gadis itu.

Di tempat yang berbeda, Nara merasa gelisah menunggu kedatangan suaminya, gadis itu berdiri di depan jendela kaca kamar, yang masih menampakkan hujan deras di luar sana, mungkin sekarang Jino sedang berteduh, begitu pikirnya.

Suara bel dari arah pintu membuat gadis itu sedikit terlonjak, dia segera bergegas keluar kamar dan setengah berlari melewati ruang tamu.

"Bang?" panggil Nara saat membuka pintu. Dan mendapati seorang pria tengah memunggunginya, dari pakaian yang dikenakan ia tahu, itu adalah suaminya. "Kenapa kamu ujan-ujanan?"

Jino berbalik, tidak ada senyum di bibirnya yang sedikit pucat, Sorot matanya yang sayu memancarkan kekecewaan, yang gadis di hadapannya itu tidak tahu sebabnya apa.

Nara yang mendekat menyentuh lengan jaket pria itu yang basah kuyup."Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya, sebelum pria itu menjawab, Nara berbalik ke dalam rumah dan meminta tolong pada asistennya untuk mengambilkan handuk. "Masuk, Bang."

"Nggak usah, baju aku basah semua," ucap Jino.

"Kenapa kamu nggak neduh aja?"

"Neduh di mana, udah terlanjur basah."

"Udah ayo masuk aja." Nara menarik lengan jaket suaminya, raut khawatir terpancar dari wajah gadis itu. "Nanti kamu sakit."

Jino tertegun, dia seolah baru menyadari istrinya ternyata baik sekali, diapun tersenyum.

"Ayo masuk." Ajak Nara, namun Jino tetap merasa tidak enak, takut nanti akan mengotori rumah mertuanya.

Nara membantu membukakan jaket yang dikenakan sang suami, hanya tersisa kaus pendek berwarna hitam di sana yang juga basah, setelah menyampirkan handuk di pundaknya, gadis itu kembali membujuk untuk masuk ke dalam rumah.

Bersamaan dengan itu, kemunculan Denis di ambang pintu membuat perhatian keduanya teralihkan, pria paruh baya yang merupakan ayah dari istrinya itu terlihat kaget mendapati menantunya kebasahan.

"Loh Nak Jino kenapa tidak masuk, ayo cepat masuk di luar dingin."

Jino menyalami ayah mertuanya. "Baju saya basah, nanti lantainya kotor, saya tunggu di sini aja," ucapnya.

"Sepertinya hujan ini akan lama, sebaiknya kalian menginap saja, besok pagi baru pulang. Nanti papa ambilkan baju ganti untuk kamu, sekarang ayo masuk dulu." Denis mengajak menantunya dengan sedikit memaksa, menggiring pemuda itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

Nara mengajak suaminya masuk ke dalam kamar, menunjukkan pintu kamar mandi yang berada di sana. "Kamu mandi dulu biar nggak sakit, nanti aku siapin baju ganti. Oh iya, mau minum apa?"

Jino sesaat terdiam. "Terserah kamu," ucapnya kemudian.

Pria itu masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, bersamaan dengan sang istri yang keluar kamar menyiapkan keperluan pria itu.

"Bang, kamu belum selesai mandinya?" Nara bertanya dari balik pintu kamar mandi, kedua tangannya mendekap baju ganti pemberian sang papa.

Gadis itu memalingkan pandangannya saat sang suami keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk berwarna putih yang melilit di pinggangnya.

"Kata papi ini baju sama celananya masih baru, belum pernah dia pake, sedikit kekecilan katanya," ucap Nara dengan menyodorkan pakaian di tangannya.

Jino sedikit tersenyum saat gadis Itu terlihat malu. Dan menundukkan pandangan saat menyerahkan benda itu. "Makasih," ucapnya.

"Aku bikinin teh buat kamu, diminum ya." Tanpa menatap sang suami yang pasti tengah sibuk berpakaian, Nara beralih mengambil tas Jino yang juga basah di atas meja, mengeluarkan barang-barangnya dari dalam sana.

"Hp kamu mati, mungkin karena kena air." Nara menghampiri suaminya yang duduk di tepi ranjang, menyerahkan benda di tangannya pada pria itu.

"Nggak apa-apa, batrenya emang habis tadi," ucap Jino setelah mengeringkan benda di tangannya dengan tisu.

"Ooh, pantesan kamu nggak bales pesan aku." Nara duduk di sebelah suaminya dan ikut memperhatikan ponsel berlayar gelap di tangan pria itu.

Jino tertegun, ingatannya kembali berputar pada kejadian di rumah Sisil. Perasaan bersalah kembali menjalari hatinya, pria itu memastikan bahwa dia tidak akan pernah kembali ke sana. Dan mengantar gadis itu adalah hal terakhir yang dia lakukan untuk mantan kekasihnya.

"Minum Bang, muka kamu pucet banget, aku takut." Nara menyodorkan segelas teh hangat di tangannya.

Jino menoleh."Takut kenapa?" tanyanya pada sang istri yang juga menduduki tepi ranjang di sebelahnya.

"Takut kamu sakit," ucap Nara khawatir, hal itu membuat Jino mengulas senyum.

Setelah melirik gelas di tangan gadis itu, Jino kembali memusatkan pandangan pada ponsel di genggamannya. "Taro aja di atas meja, aku belum pengen minum," ucapnya.

Nara benar-benar khawatir melihat wajah suaminya yang begitu pucat. "Terus kamu pengennya apa?"

Pertanyaan itu reflek membuat Jino menoleh, kemudian berpikir.

Nara tampak menunggu, "Apa? Biar aku buatin."

"Aku pengennya," sesaat Jino merasa ragu, wajah polos sang istri membuat ia ingin sekali mencubit pipi gadis itu, "mi rebus."

Nara kemudian tertawa. "Kamu laper?" tanyanya dengan menyentuh lengan pria di hadapannya.

Hal itu membuat Jino menoleh pada jemari sang istri yang terasa hangat saat menempel di kulitnya yang dingin, pria itu menggenggamnya. "Tangan kamu panas."

"Tangan kamu dingin," balas Nara, pandangan keduanya bertemu, seperti ada sesuatu yang ingin pria di hadapannya itu ucapkan, tapi malah terlihat kebingungan. "Tangan kamu dingin karena keujanan, makanya minum teh biar anget. Yaudah, aku buatin mi rebus dulu."

Jino sedikit terhenyak saat wanita di hadapannya itu dengan cepat berdiri, kemudian pergi, padahal dia masih ingin menggenggam tangannya atau mungkin lebih. Dan belum pernah dia merasa segugup ini.

Pria itu mengambil ponselnya yang ia Letakan di atas kasur, beranjak berdiri untuk mengisi daya dan malah menemukan dompe miliknya di atas meja, dia pun membukanya.

Meski Jino tidak pernah menghitung jumlah uangnya ada berapa, tapi dia ingat saat terakhir kali membuka benda itu. Dan kali ini pun isinya tampak sama, ternyata istrinya itu sama sekali tidak menggunakan uangnya.

Dia tersenyum, ingatannya berputar pada ucapan sang mami sebelum ia menikahi gadis itu.

"Pilihan mami adalah yang terbaik untuk kamu."

Sekarang Jino sadar, apa yang maminya katakan adalah benar. Pernikahan ini mungkin berawal dari sebuah keterpaksaan, tapi orang yang dipilih mereka adalah yang terbaik untuk dirinya.

Setelah lepas dari sisil, Jino mulai bisa membenahi tujuan hidupnya. Dia ingin membahagiakan Nara dan mencari penghasilan untuk menafkahi perempuan itu.

Jino kembali meletakan dompetnya di atas meja, lalu keluar kamar dan menemui Nara yang tengah sibuk di dapurnya.
















Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now