Rindu

2.6K 320 25
                                    

Nara masih saja merasa canggung pada keluarga barunya jika mereka sedang berkumpul, seperti saat sarapan pagi ini, personil lengkap tanpa saudara kembar sang suami, mengubah jiwa barbar gadis itu menjadi lebih pendiam dari biasanya, dan sesekali Jino akan meliriknya dengan menahan tawa.

"Jadi hari ini siapa yang anter Sena ke sekolah? Pak supir kan belum masuk." Sena memecah keheningan, setelah sesaat sebelumnya yang terdengar hanya dentingan sendok yang beradu dengan garpu.

"Memangnya Jino nggak bisa anter kamu ke sekolah dulu?" Nena sang mami yang baru datang dari arah dapur bertanya, kemudian meletakan piring berisi telur dadar di atas meja.

"Nggak bisa soalnya Nara masih ospek, jadi nggak boleh telat," balas Jino dengan menusukkan garpu pada telur masakan sang mami, untuk ia makan bersama nasi goreng di piringnya.

Alasan itu membuat Nara menoleh, bisa-bisanya pria itu menjadikan dirinya sebagai bantalan, padahal sebelumnya dia yang paling tidak peduli jika dirinya terlambat ikut barisan.

Tapi tentu saja Nara tidak berani angkat suara, dia malah lebih fokus pada sang suami yang mengambilkan sepotong telur dan ia taruh di piringnya, haruskah ia merasa terharu karena hal itu?

"Makan," ucap Jino, yang Nara yakini sebagai alat sogokan.

"Sena ikut Papi deh," ucap gadis berseragam smp itu dengan sedikit merengek.

"Papi nggak satu arah, kamu ikut Om Ardi aja nanti," ucap sang Papi yang membuat Sena sedikit kecewa.

"Coba aja ada Bang Nino." Sena bergumam, meskipun dia lebih dekat dengan Jino dalam hal bertengkar, tapi Nino adalah tempat gadis itu untuk berlindung dan meminta tambahan uang jajan, Nino selalu mau mengantarkan kemanapun dia suka tanpa banyak tanya dan menggodanya, dia rindu abangnya yang pendiam itu.

Membahas Nino tiba-tiba saja hati Jino memanas, entah kenapa dia masih merasa kesal dengan saudara kembarnya itu, benci mungkin tidak, tapi kecewa itu pasti.

"Bang Nino kemana si Pi? Kenapa nggak pulang-pulang? Sena kangen." Gadis itu kembali berucap lirih.

Justin bukan tidak tau di mana putranya itu berada, mustahil jika orang suruhannya tidak dapat menemukan keberadaan anak itu, hanya saja dia pikir Nino memang butuh waktu untuk sendiri.

Kecanggungan di ruang makan membuat Nara yang tidak tau apa-apa semakin diam saja, namun celetukan sang oma selalu mengundang perhatian mereka.

"Lah, kamu kalo kangen sama Bang Nino kan bisa liat abang kamu," ucap Marlina dengan mengusap punggung Jino hingga pemuda itu menoleh, "kan mukanya sama."

Sena melontarkan tatapan sinis pada abangnya yang satu itu, "tetep aja beda," ungkapnya tidak suka.

"Ya beda lah gue mah lebih ganteng, lebih bertanggung jawab," balas Jino sewot, yang membuat suasana ruang makan itu kian memanas.

Usapan di punggung pemuda itu berganti menjadi tabokan, "Kalo bertanggung jawab kenapa tutup bapperware Oma kamu jual-jualin," omel wanita tua di sebelahnya itu.

Jino meringis, "itu namanya bisnis Oma, soalnya harganya lebih mahal dua kali lipat," balas Jino yang memang pernah menjual tutupnya saja pada seorang teman yang takut pulang ke rumahnya, karena tutup bapperware ibunya hilang.

"Alasan aja kamu." Marlina kembali mengomel.

Nena yang menuang air putih pada gelas suaminya kemudian berkomentar. "Sudah cepat habiskan sarapannya nanti Nara telat loh," ucap wanita itu yang membuat perdebatan sang oma dengan putranya tidak berlarut lama.

"Assalamualaikum! Paket!" Teriakan itu membuat para penghuni ruang makan seketika menoleh.

"Kang paket gadungan," komentar Jino saat mendapati sang Om yang muncul di balik pintu penghubung ruang makan.

Ardi tertawa, "kaget ya," ucapnya bercanda, kemudian menghampiri sang kakak dan menanyakan berkas-berkas yang ia pinta.

Setelah meminta tolong pada istrinya untuk mengambilkan setumpuk berkas yang dikerjakan semalam, Justin kemudian berkata, "tolong sekalian  antarkan Sena ke sekolah," ucap pria itu.

Ardi menyanggupi, dan kemudian segera mengajak Sena untuk berangkat ke sekolah, bersamaan dengan itu Jino juga istrinya berpamitan untuk kuliah, ruang makan yang berubah sepi membuat Nena berani bertanya pada sang suami perihal putra pertamanya.

"Aku jug kangen Mas sama Nino, dia di mana sih?" tanyanya yang membuat Justin kemudian menoleh.

Pria itu mengusap belakang kepala sang istri yang terlihat sedih, dia tersenyum. "Kamu tidak perlu khawatir, yang penting Nino baik-baik saja," ucapnya.

"Iya tapi kenapa dia tidak mau pulang? Apa bener anak itu di luar Negri bersama dengan calon istrinya itu?"

Justin menggeleng, "Nino hanya mengantarkan sampai Bandara, dan saat ini pun dia masih di Indonesia," ucapnya.

Mendengar itu Nena merasa heran, "Kenapa nggak Mas suruh pulang aja?" ucapnya.

"Mungkin Nino memang butuh waktu untuk sendiri, tapi mau bagaimana pun tindakan anak itu tidak dapat dibenarkan, bilang sama dia ibu kecewa." Marlina ikut berkomentar, kemudian beranjak berdiri meninggalkan ruang makan menuju kamarnya.

Di luar, Jino memberikan helm pada Nara yang berdiri di sebelahnya, "bisa pake sendiri kan?" tanyanya setelah naik ke atas motor.

Nara yang menerima helm di tangannya tampak ingin mengutarakan sesuatu, hanya saja terlihat sedikit ragu.

"Ada apa?" tanya Jino yang merasa janggal dengan sikap istrinya.

"Saudara kembar kamu itu sebenernya ke mana sih, Bang?"

Pertanyaan itu membuat Jino terdiam, kemudian menggeleng, "Nggak tau, aku juga nggak peduli," ucapnya.

Bohong jika pria itu tidak peduli terhadap saudaranya, Nara bisa menangkap Sorot kerinduan saat sang suami mengutarakan kalimatnya.

"Mungkin kalo Bang Nino nggak kabur kita nggak bakal nikah kan?"

Jino menghela napas, "semuanya udah terjadi, mau kamu sesali pun percuma," ucapnya.

Hal itu membuat Nara menggeleng, "justru aku liat penyesalan itu ada pada kamu Bang, dan itu selalu jadi bayang-bayang langkah aku yang nggak pernah bisa tenang," ucapnya.

Sesaat Jino terdiam, pria yang sudah menyalakan mesin motornya itu kembali ia matikan. "Gini ya Nara, perihal hidup, mati, rezeki dan jodoh merupakan rahasia Ilahi, dan mungkin apa yang aku inginkan memang bukan yang terbaik untuk aku kedepan.

Semuanya sudah dituliskan sesuai kehendakNya, termasuk pernikahan kita. Dan terkadang, untuk mendapatkan yang terbaik, kita tidak punya banyak pilihan. " Jino berucap panjang lebar, obrolan bersama om dan sang tante beberapa hari yang lalu membuatnya sedikit mengerti akan hal itu.

'Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi  dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia) Qs. Al Qasas. 28 ayat 68.

Author: Ayat di atas aku ambil dari internet ya, kalo ad salah salah mohon dikoreksi makasih.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now