Pasrah

2.4K 281 13
                                    

"Jadi kau benar-benar akan menikahkan Jino?"

Pertanyaan itu berasal dari sahabatnya. Malam sebelum acara pernikahan putranya besok, Justin menemui William untuk membicarakan masalah itu.

Justin terlihat diam saja, duduk bersandar pada sofa, memejamkan mata dengan memijit pelipisnya, sepertinya pria itu tengah dilema. "Aku sudah ingin membatalkan pernikahan mereka, dan menanggung malu atas semuanya, tapi Jino sendiri yang kemudian bersedia," ucapnya dengan menegakkan duduknya.

William mendorong secangkir kopi untuk tamunya saat asisten rumah tangga di kediamannya itu, meletakan di atas meja. "Kau lupa, saat dulu mati-matian mencegah Ardi untuk menikah dini? Dan sekarang justru kau menikahkan anakmu sendiri."

Kalimat dari sahabatnya itu kembali membuat Justin mengusap wajah, pria itu semakin gusar. "Sebelumnya aku terlalu fokus pada Nino, apa yang dia dapat di usia yang terlalu muda kupikir sudah cukup jika dia kemudian berrumah tangga, karena saat aku tawarkan waktu itu ternyata dia mau, tidak kusangka anak itu akan memberontak seperti ini," ucapnya  kecewa.

William menepuk pungggung Justin pelan, mencoba menyalurkan kekuatan, pria itu menundukkan kepala dengan telapak tangan yang menutupi wajahnya."Mungkin kau masih perlu pendekatan dengan putramu, selama ini yang kau lihat dari Nino hanya luarnya saja, kau masih perlu pendekatan lebih dalam," ucapnya.

Justin mengangguk, menjauhkan telapak tangan dari wajahnya kemudian menoleh pada William. "Aku merasa telah gagal, kupikir selama ini aku sudah memahami sifat mereka," ucapnya terdengar lemah.

Sahabatnya itu kembali menepuk punggung Justin, tersenyum memberi dukungan. "Belum terlambat, kau masih bisa memperbaiki semua, setidaknya jika Jino bisa mempertahankan rumah tangganya, kau tidak sepenuhnya gagal."

Sejenak Justin tampak berpikir, dia berharap semoga Jino dapat menjaga amanahnya. Menjadi suami yang bertanggung jawab pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, dia akan selalu berusaha keras menyatukan mereka.

***

Jino mengeratkan genggamannya pada peci berwarna senada dengan busana yang saat ini ia kenakan. Dalam kamarnya, pemuda itu ditinggal sendiri, keluarganya tampak sibuk mempersiapkan acara yang akan segera dimulai beberapa jam lagi. Saat ini dirinya yang duduk termenung di tepi ranjang, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang akan dia alami.

Dering ponsel yang terletak di atas nakas membuat pemuda yang sudah rapi dengan jas pengantinnya kemudian menoleh, meraih benda itu dan memejamkan mata saat membaca nama yang tertera di layarnya.

"Halo?" sapanya lemah.

Dan Gadis di seberang telepon yang tidak menyadari tentang suasana hatinya itu terdengar tertawa. "Kamu pasti sibuk banget pagi ini, kupikir panggilan aku nggak bakal diangkat, kamu pasti sibuk ngurusin nikahan kakak kamu kan?" tanyanya kemudian.

Jino terdiam, tenggorokan pemuda itu terasa kering, hingga air ludah di dalam mulutnya pun begitu susah ia telan. "Iya," dan hanya satu kata itu yang dapat ia keluarkan.

Gadis bernama Sisil sempat curiga, ada apa dengan kekasihnya, namun dia kemudian memberi dugaan sendiri bahwa Jino pasti tengah sibuk. "Sampaikan ucapan selamat aku buat Bang Nino ya, Sayang. Maaf aku nggak bisa datang," ucap gadis itu riang. Jino tidak lagi mampu untuk bersuara, bagaimana tidak, ucapan selamat dari gadis itu saat ini justru tertuju pada dirinya.

Panggilan keduanya diakhiri tanpa banyak bicara, Jino hanya mengiyakan setiap gadis itu meminta tanggapan. Sisil menyuruh pacarnya itu untuk kembali sibuk dengan acara, dia tidak tau bahwa yang saat ini akan menikah adalah kekasihnya. Dan Jino sendiri tidak tau harus memulai bercerita dari mana.

Rasanya Pemuda itu ingin menangis tersedu-sedu, namun meskipun tidak ada siapapun di kamarnya itu, entah kenapa dia benar-benar merasa malu. Cukup perasaan kecewa di senyumnya yang terlihat hambar hari ini, tidak perlu ditambah dengan mata bengkak dan hidung memerah, yang pasti akan memalukan sekali.

Jino tidak pernah menyangka dirinya akan sesial ini, mungkinkah di kehidupan sebelumnya, dia terlalu banyak merugikan Negara, hingga saat ini hidupnya begitu amat nelangsa, lalu dia harus bagaimana.

"Kamu sudah siap, Jino?"

Seruan dari Om Ardi membuat pemuda itu sedikit terlonjak, kemudian menoleh dan menganggukkan kepala. "Bang Nino nggak pulang ya, Om? Aku masih berharap ada keajaiban," ucapnya lirih saat omnya itu menghampiri, ikut duduk di sebelah dirinya.

Ardi menghela napas, menoleh pada keponakannya kemudian menepuk pundak pemuda itu pelan. "Menurutku, ini adalah keajaiban, yang sibuk mempersiapkan resepsi Nino, tapi malah kamu yang menikah, bukankah itu ajaib," ucapnya tanpa bermaksud bercanda, tapi entah kenapa tatapan keponakannya itu justru terlihat berbeda.

"Ajaib banget lah," tukas Jino pasrah.

Om Ardi terlihat ingin tertawa, padahal dirinya kini sedang berduka, seharusnya pernikahan adalah sesuatu yang bahagia.

"Begini saja," ucap Ardi yang membuat Jino kemudian menoleh. "Anggap saja kalian memang sedang pendekatan, dalam arti pacaran, kan enak sudah halal, pasangan yang belum sah saja seringkali menghalalkan segala cara untuk bisa saling meraba, kamu mah bebas lah," imbuhnya.

Om Ardi selama ini memang lebih dekat dengan dirinya daripada sang kakak, entah kenapa Jino justru merasa menyesal, teori pria itu sering kali tidak masuk akal.

Tatapan Jino semakin aneh saja. "Dulu Om gitu ya," tuduhnya.

Dituding memberikan teori atas pengalamannya sendiri Ardi terlihat kelabakan. "Ya, ya enggak juga," sangkalnya yang mendapat cibiran dari pemuda yang duduk di sebelahnya. "Sudah ayo cepat, sudah ditunggu yang lain," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Jino beranjak berdiri, merapikan jasnya sekilas kemudian menoleh. "Aku disuruh ngapain aja sih nanti?" tanyanya.

"Tadi udah dikasih kertas susunan acara kan?" Ardi balik bertanya.

"Nggak tau, lupa baca," balas Jino sembari melangkah di sebelah omnya.

"Di kertas itu, dijelasin kamu harus ngapain, berhubung konsep pernikahan yang dipilih abang kamu sesuai adat calon pengantin wanita, jadinya ya agak rumit juga?" ucap Ardi mengingatkan.

Dalam langkahnya Jino mendesah pasrah. "Kok nyusahin banget si," omelnya entah pada siapa, rasanya ia benar-benar ingin menangis dan berguling-guling di lantai saja, tapi beruntungnya dia belum gila untuk bisa melakukannya.

"Kamu pasti gugup ya?" Ardi yang duduk di balik kemudi bersebelahan dengan Jino kemudian bertanya, mereka tengah menuju ke gedung tempat acara pernikahan pemuda itu diselenggarakan, berhubung mobil sang papi penuh dengan barang bawaan, Jino akhirnya ikut dengan mobil omnya.

Pemuda itu masih menempelkan kepalanya pada kaca mobil saat menjawab. "Nggak," dengan begitu singkat.

Ardi sekilas menoleh dengan raut wajah yang dibuat seolah terkejut. "Loh, kok bisa, dulu om waktu mau nikahin tante kamu gugup banget deh, sampe nggak bisa tidur Semalaman," ucapnya bercerita, mungkin berharap akan sedikit mengalihkan kesedihan keponakannya.

Namun Jino tampak diam saja, masih menempelkan kepalanya pada kaca mobil yang dikendarai omnya.

Di belakang mereka, Karin yang adalah istri sang Om, yang duduk dengan kedua putranya yang masih sekolah itu berusaha ikut menghibur. "Pasti Nara juga gugup banget deh, soalnya tante dulu juga degdegan banget loh," ucapnya yang berhasil membuat Jino kemudian menoleh.

Pemuda itu menegakkan duduknya, menatap om dan tantenya itu secara bergantian. "Om, Tante. Perasaan berdebar itu hanya dialami oleh pasangan yang saling jatuh cinta. Dan aku sama sekali nggak merasakannya," tegas pemuda itu yang membuat penghuni mobil sontak terdiam.

Hanya Kairan putra kedua sang Om yang kemudian berkomentar. "Aku setiap ketemu Pak Komar, guru matematika selalu berdebar, Mi. Apa mungkin itu juga jatuh cinta?" tanyanya yang membuat sang mami disebelahnya  kemudian tertawa. Jino ikut tersenyum karenanya.

"Bukan jatuh cinta itu namanya, kamu takut," ucap Arka sang abang yang terlampau gemas dengan komentar adiknya.

***

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now