Ungkapan

1.8K 228 25
                                    

Sesaat Jino menunduk untuk melirik tangan sang istri yang melingkar di perutnya, laju kendaraannya mulai melesat ke jalan raya, pria itu mengulas sedikit senyum dan kembali fokus pada motor yang ia bawa.

Pikiran Jino melayang pada obrolannya dengan Sisil di bawah tangga, gadis itu menangis, dan bayangan itu tidak bisa lepas dari benaknya.

"Kita udahan aja ya Sil." Jino berucap lirih, sebelum memutuskan untuk mengobrol di sana, dia sudah memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitarnya.

Sisil mengerjap bingung, gadis itu sempat berpikir mungkin kekasihnya melihat dia dekat dengan Mahendra di kelas tadi, "aku bisa jelasin Jino, aku sama Mahendra nggak ada apa-apa," ucapnya.

Pernyataan itu membuat Jino mengerutkan dahi, sekilas nama Mahendra mengingatkannya pada laki-laki yang ia tahu sangat dekat dengan Sisil, dan gadis itu berpikir bahwa dia cemburu, "bukan masalah itu," sergahnya.

Dan Sisil mengerutkan dahi, kemudian terdiam. "Jadi kamu udah mulai mau nerima pernikahan kamu?" Tanya gadis itu dengan raut kecewa. Meski dia merasa tidak terlalu cinta nyatanya hati Sisil merasa sakit juga, sangat.

Jino yang terdiam mendapat pukulan pelan di dadanya, "kamu bohong," ucap Sisil, dan saat hendak memukul Jino lagi, pria itu menangkap tangannya.

"Aku udah punya istri, Sil. Mempertahankan hubungan kita hanya akan membuat kamu semakin terluka, kamu berhak dapetin cowok lain yang bisa bahagiain kamu." Jino melepaskan tangan Sisil saat gadis itu menariknya, untuk kemudian mengusap air mata.

"Kamu bilang nggak akan mempertahankan pernikahan kamu, kamu nggak cinta kan sama dia. Bilang Ji, bilang kalo kamu nggak ada perasaan apa-apa sama dia," desak Sisil dengan menarik kaus bagian depan yang dikenakan oleh Jino, hingga pria itu maju satu langkah.

Jino berusaha keras untuk tidak merangkulkan kedua lengannya pada tubuh Sisil yang bergetar saat menangis, pria itu menahan diri untuk tidak membawa tubuh itu ke dalam dekapannya, "maafin aku, aku salah."

Sisil melepaskan cengkraman tangannya pada kaus pria di hadapannya, kembali mengusap airmata  dengan punggung tangan, "aku kecewa sama kamu, janji kamu tuh kaya mendung tau nggak, yang aku tunggu ternyata nggak pernah hujan, kamu jahat."

"Sil." Jino mencoba untuk menyentuh pundak Sisil dan langsung ditepis oleh gadis itu.

"Kita baru jadian Jino, aku nggak bisa terima kita putus begitu aja." Sisil berucap penuh penekanan, tatapannya yang sedikit kabur oleh genangan air mata masih terlihat tajam, dan Jino terdiam di tempatnya.

Sesaat kemudian, kedatangan Nara membuat perhatian keduanya teralihkan, dan pria itu mendapat tamparan dari Sisil setelah memberikan pernyataan bahwa mereka harus berpisah.

"Bang!"

Panggilan itu membuat Jino yang kurang fokus dengan jalan raya di hadapannya kemudian menyahut, bayangan Sisil dan kenyataan bahwa hubungan mereka yang telah berakhir perlahan memudar dari benaknya.

"Hape kamu bunyi terus, mungkin penting." Nara memberitahu suaminya tentang benda yang terdengar berisik dari dalam tas pria itu.

"Biarin aja," balas Jino. Dia mengabaikan ponselnya yang terus berdering, namun semakin tidak peduli benda persegi itu terus bergetar tanpa henti dan mengganggu perjalanannya.

"Angkat aja Bang," ucap Nara di belakangnya, dan sesaat kemudian, dia melepaskan pegangan pada pinggang suaminya saat pria itu menepikan motor yang ia bawa.

"Halo?" Jino terdiam setelah mengucapkan satu kata itu, kalimat panjang dari seseorang di balik telepon membuatnya tidak bisa bersuara.

Nara tidak bertanya itu telepon dari siapa, dan suaminya itupun tampak diam saja, dari kaca spion, gadis itu bisa melihat bahwa Jino tidak sedang baik-baik saja.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Where stories live. Discover now