2. Ambisi

1.1K 123 112
                                    

Sosok gagah itu menatap sepiring sajian makanan hangat di hadapannya. Sesaat pria itu berdehem, beberapa saat kemudian melanjutkan lagi tatap-menatapnya.

Tampilan masakan yang cukup menggugah selera, walaupun itu hanya makanan sederhana. Ayam goreng kremes biasa tampak istimewa dengan hiasan beberapa lembar daun selada, irisan timun, dan tomat, juga daun kemangi di atasnya. Soal rasa, jelas itu terlihat sangat enak. Entah jika sudah masuk mulut dan dikunyah. Sedetik kemudian, pria paruh baya itu meneguk ludah.

Dari arah dapur muncul sang putri dengan teko kaca berisi air mineral di tangannya. Begitu telaten saat gelas yang tadinya tengkurap sudah diraihnya lalu dituangi air minum nyaris penuh.

"Mamamu belum pulang, Ta?" tanya Fernan, ayah Reta. Sang putri lantas meletakkan teko dan menjawab, "Udah kok, Pa." Fernan kemudian mengambil gelas minumannya.

"Tadi Reta udah pesen Bu Uti panggil mama buat makan malem bareng, tapi kayaknya mama belum ada tanda-tanda mau turun. Reta panggilin dulu ya, Pa?"

Pergerakan Reta terhenti saat tangannya dicekal oleh papanya. Gadis itu lantas kembali duduk. "Biarkan saja, mamamu itu sudah dewasa. Kalau lapar, nanti juga ambil makanan sendiri atau mungkin mamamu itu sudah kenyang makan dengan para pacarnya di luar."

Reta tersentak dengan kalimat yang diujarkan sang papa. Ia masih belum terima akan kalimat menyakitkan itu. Benar-benar terlalu menyakitkan. Dia hanya tertunduk, larut karena ucapan papanya.

Sikap papa yang dingin, lalu mama yang sepertinya tak acuh pada papa dan juga dirinya. Reta bertanya-tanya, sebenarnya setan apa yang merasuki kedua orang tuanya? Kenapa mereka tak pernah saling bicara, apalagi bercengkrama layaknya keluarga biasa? Dia punya keluarga yang lengkap, tetapi lengkap saja belum tentu selalu bahagia. Harus ada bumbu cita rasa di dalamnya, cinta. Jika benar tak ada cinta, kenapa mereka berdua tak saling melepas saja? Setidaknya itu mungkin akan lebih baik untuk semua, untuk papa, mama, dan juga dirinya. Meskipun nantinya, pasti Reta yang akan merasakan sakitnya.

Suara derap langkah menggema, menguar di ruang makan. Lamunan Areta buyar, ia lantas mengikuti arah datangnya suara itu. Di sana ada mama turun dengan anggun lengkap dengan balutan pakaian elegan, sangat khas Anina.

"Sudah belajar, Reta?"

Nada suaranya pun khas, tak meninggi. Namun, selalu bisa membuat Reta tersentak kaget dengan rasa ngeri yang dirasa.

"Belum, Ma," balas Areta lirih. Fernan dapat merasakan, putrinya tampak gugup.

Anina berdecak sebal, mengambil duduk pada meja di sayap kiri. Sementara Anina terlihat duduk tenang sambil meraih buah apel, Fernan diam-diam menahan sesuatu.

"Jangan lupa, Reta, setelah belajar nanti lakukan kegiatan rutin yang sudah mama ajarkan sama kamu. Masker wajah dan sabun lulurmu sudah habis, bukan? Mama sudah membelikannya, ada di kamarmu."

"I-ya, Ma, makasih." Tetap saja jawaban Reta terdengar gugup. Hei, Reta! Itu mamamu, bukan Mak Lampir.

Oh, Anina benci ini. Wanita itu berdecak beberapa kali sembari memotong buah apelnya. Dia benar-benar bosan dengan acara makan malam ini. Kenapa rasanya seperti makan di tengah kuburan?

Arah pandang Areta jatuh melihat sang Papa yang memandangi mamanya dengan tatapan .... Itu tatapan cinta atau tatapan ingin membunuh?

"Apa ini masakanmu, Reta?"

"Iya, Mama mau coba?" Dengan semangatnya Reta sidikit beridiri dari kursi, niatnya hendak mengambilkan piring beserta nasi dan ayam goreng buatannya untuk sang mama.

"Ck! Melihatnya saja Mama tidak selera, Sayang."

Dadanya seolah berdebum hebat. Barusan, secara tidak langsung sang mama menghina masakannya. Reta tahu, makanan dengan tampilan seperti itu dengan mudah menghilangkan nafsu makan sang Mama. Meskipun, tadi dia sudah mengolah dan menghias setengah payah agar semirip mungkin dengan masakan buatan chef profesional, nyatanya itu tak menarik minat mama. Anina terlalu high class dan perfeksionis, padahal itu hanya makanan.

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now