13. Dusta Memberi Luka

430 49 18
                                    


Hari Minggu ini terasa sangat membosankan bagi Aran. Tidak ada latihan futsal, Reta juga tidak mau diajak jalan. Pacarnya itu katanya mau belajar untuk ulangan Senin besok. Aran paham, untuk alasan belajar, Aran tidak akan memaksa mengajak Reta jalan.

Namun, sesuatu terbesit di benak Aran. Apa gue aja yang main ke rumah Reta? Sekalian jenguk calon mertua bolehlah, ya. Itu isi pikiran Aran.

Akhirnya, dia bergegas ke kamar mandi dan segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah kekasihnya. Untuk hari ini, dia harus tampil lebih tampan dari biasanya. Meskipun sebenarnya, Aran selalu tampan dalam situasi apa saja.

Sedangkan, di taman itu, Reta terlihat gembira dengan seorang lelaki dan beberapa orang anak. Tawa Reta terlihat lepas. Persetan dengan kebohongannya terhadap Aran. Reta berbohong, untuk yang kedua kalinya.

Reta membawa beberapa es krim untuk diberikan kepada anak-anak itu. Tersisa dua di tangannya, untuknya dan untuk Rivan. Ya, lelaki yang bersama Reta saat itu adalah Rivan. Rivan menerima es krim dari Reta. Kemudian, mereka berdua menepi di bawah pohon untuk menikmati es krim di siang bolong seperti ini.

"Ta, jadi kamu beneran mau kalau setiap Kamis ngajarin ngaji adik-adik di Panti?" tanya Rivan, sembari menikmati es krim di tangannya.

"Emm, mau, Kak. Tapi aku enggak bisa sefasih Kakak ngajarinnya. Malu sama adik-adik nanti," lirih Reta di akhir, sambil menunduk. Menyembunyikan rasa malunya. Kadang dia juga merasa bersalah, apakah dia terlalu fokus belajar, hingga lupa dengan yang lain?

Rivan tersenyum. "Enggak apa-apa, nanti kita belajar lagi dari awal. Kakak mau bantu kalau kamu kesusahan," katanya.

Reta mengangkat kepalanya, lantas tersenyum. Kenapa hatinya menghangat? Sebelumnya, dia belum pernah menemukan lelaki sehangat Rivan. Harapannya ada di Aran, tetapi Aran sendiri yang malah mematahkan harapan itu. Sikap Aran kepadanya ... tidak seperti Rivan.

Ah, iya. Reta jadi tersadar. Dia tidak boleh seperti ini. Sudah empat tahun hubungan mereka berjalan. Dia semakin merasa bersalah karena sudah dua kali membohongi Aran. Andai Aran tahu, bagaimana nasib Reta? Segala kemungkinan buruk itu, Reta tepis kuat-kuat dari benaknya.

"Reta," panggil Rivan, ketika melihat Reta tampak melamun.

"Eh, i-iya, Kak. Maaf, malah ngelamun," tuturnya. Reta menoleh ke samping, mendapati Rivan yang fokus menatapnya dari samping. Kalau seperti ini, Reta jadi grogi. "Kak, mau temenin Reta jalan-jalan sebentar?"

Sadar akan hal yang dilakukannya, Rivan cepat-cepat mengalihkan tatapannya. Pipinya merona, malu sendiri. "Iya, Ta. Ayo!"

Akhirnya, mereka berdua berjalan berdua untuk sekadar mengelilingi taman kota. Reta sangat senang hari ini. Dia bisa melupakan belajarnya sejenak dan merasa lebih lega pergi bersama Rivan. Tenang saja rasanya, tidak ada pertengkaran atau apa itu semacamnya.

Sebenarnya Rivan juga senang pergi bersama Reta. Akhir-akhir ini, dia jadi susah tidur karena memikirkan gadis itu. Aneh, memang. Pasalnya, mereka belum kenal lama. Rivan pikir, apakah ini yang kata orang-orang namanya suka? Memikirkannya saja membuat Rivan terkekeh geli.

Namun, ketika suatu kenyataan tergambar jelas di benaknya, Rivan hanya bisa mengulum senyuman. Meski tahu, kalau dia bisa saja jatuh cinta dengan gadis di sampingnya, Rivan tahu dia tidak akan bisa memiliki Reta. Jelas, itu sangat jelas.

"Ta, kamu udah punya pacar, 'kan?"

🌻🌻🌻

Dengan sedikit ugal-ugalan, Aran mengendarai motornya menuju suatu tempat. Dia ingin memastikan, apakah benar ucapan calon mertuanya tadi. Kalau benar, tamat sudah riwayat Reta.

Iya, Aran tadi sudah pergi ke rumah Reta. Namun, sesampainya di sana, dia tidak menemui apa yang menjadi tujuannya datang. Reta tidak ada.

"Reta pamit ke taman tadi, Ran. Loh, Tante kira sama kamu." Ucapan Anina, membuat perasaan Aran campur aduk. Persetan dengan alasan belajar hanya untuk menghindarinya? Kecewa, khawatir, marah, semua menjadi satu.

Pikiran Aran kalut. Hampir saja dia menabrak seorang ibu-ibu yang hendak menyebrang. Setelah meminta maaf kepada ibu itu, Aran kembali melajukan motornya. Jarak taman sudah tak jauh lagi. Aran harus menemukan Reta!

Di bawah pohon beringin taman itu, Aran memarkirkan motornya. Dia rela mengelilingi taman, asalkan Reta ketemu.

"Sialan!" umpat Aran ketika dia tak kunjung menemukan di mana kekasihnya berada.

Dia berjalan lagi, melewati beberapa penjual yang cukup banyak di Hari Minggu. Kenapa kamu enggak pernah bisa bikin aku tenang, sih, Ta? Di dalam hati, Aran bertanya. Dengan rasa kecewa yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Reta membohonginya. Tak masalah jika kemarin ketika Aran mengajaknya, Reta menolak. Akan tetapi, kenapa harus berbohong? Aran tidak suka. Reta berubah, itu kesimpulan Aran.

Aran menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam pemandangan yang menurutnya menjijikkan. Tangannya semakin terkepal dan saat itu juga kekecewaan Aran sudah berada di puncaknya.

"Ta, lo main-main sama gue?" gumam Aran.

Tak jauh darinya, Reta sedang duduk bersama Rivan. Bersenda gurau layaknya mereka sudah kenal dekat. Bagaimana hati Aran tak sakit? Reta rela berbohong, untuk menemui Rivan.

"Lo yang nyuruh gue buat percaya. Tapi lo sendiri yang juga ngehancurin kepercayaan gue. Bangsat, Reta!" Semakin emosi, Aran sampai tak sadar jika dia mengucapkan kata-kata yang sepantasnya tidak dia ucapkan.

Dengan langkah sedikit gontai, Aran kembali ke motornya. Ini sudah tidak bisa dikatakan marah, Aran kecewa. Mati-matian dia menahan egonya, mencoba menghilangkan sifatnya yang terkesan mengekang Reta, tetapi apa seperti ini pembalasannya? Aran sudah mencoba mengerti Reta, dia ingin menjadi teman cerita terbaik untuk Reta.

Ibaratnya, Aran yang berusaha berlari untuk mengejar Reta, tetapi ternyata Reta menebar paku supaya Aran berhenti di tengah jalan. Reta memberinya harapan untuk dikejar, tetapi Reta sendiri juga memupuskan harapan Aran mengejarnya.

Bukankah mereka sama-sama jahat, sebenarnya? Aran yang awalnya menghancurkan harapan Reta, pun Reta yang akhirnya menghancurkan kepercayaan Aran. Adil, bukan?

"Cowok itu siapa sebenarnya?"

Kenapa setega itu, Ta? Empat tahun ini sia-sia? Gue enggak mau kalau semua itu berhenti di sini, tetapi agaknya kalau lo jelasin, gue juga enggak bisa nerima. Gue telanjur kecewa, Ta, kalau lo mau tahu.

Gue kira, lo bintang yang diciptakan Tuhan setelah mama. Tapi ternyata cuma 'gue kira', bukan kenyataannya.

Lo enggak tahu, kalau sikap gue selama ini sebenarnya buat ngejaga lo. Reta, lo punya gue dan enggak ada yang boleh protes. Tapi agaknya kali ini takdir protes. Apa benar ini akhirnya, Ta?

Biasanya gue yang egois, tapi kali ini takdir yang egois, sepertinya. Merebut elo, tanpa peduli gue.

Dan, untuk pertama kalinya gue bener-bener dibuat kecewa.

🌻🌻🌻

Jawa Tengah, 27 September 2020

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now