23. Siapa yang Salah?

430 40 10
                                    

••••••••••🌻 Happy Reading 🌻••••••••••

Ben menyeret lengan Gaby menuju di lorong sepi sekitar gudang sekolah. Sebelum dia benar-benar melepaskan cewek itu, dia ingin mengatakan sesuatu yang sudah sangat lama dia pendam, hingga rasanya membuat nyut-nyutan di dada. Sedikit perlawanan dari Gaby, tetapi hal itu tidak membuatnya terlepas dari genggaman Ben. Jelas, tenaga Ben lebih kuat dari Gaby.

Sesampainya di sana, Gaby menatap jengkel Ben. Tatapan mereka beradu. Sebenarnya, sakit sekali berada di kondisi seperti ini. Dulu, Gaby menatapnya dengan penuh kelembutan, tetapi sekarang tatapan itu berubah menjadi ketidakpedulian. Mungkin karena Aran lebih tampan darinya, Gaby memilih Aran.

Cewek mandang fisik emang di mana-mana ada, batin Ben.

"Ngapain lo bawa gue ke sini?" tanya Gaby dengan nada kesal.

Ben tersenyum kecut. Bahkan, berbicara dengannya, sekarang Gaby seperti ogah-ogahan. "Memangnya enggak boleh, ya? Masalah?" Ben balik menanyai cewek itu.

Gaby mendesis, "Ish, jelas masalah! Kalau Aran nungguin gue gimana?"

Gelengan kepala ditunjukkan oleh Ben. Dia maju selangkah. Kini, jarak mereka hanya satu meter. Tepat di depan Gaby, Ben tersenyum. Sebisa mungkin dia membuat senyuman yang seperti tidak masalah jika Gaby bersama Aran. Padahal, jauh di dalam sana hatinya remuk, sudah tidak berbentuk.

"Sekarang lo udah sama Aran, By. Tapi  gue mau ngomong sesuatu dulu, enggak perlu dapet izin dari lo, gue tetep mau ngomong." Ben menjeda ucapannya, ditatapnya Gaby yang sama seriusnya menatap dirinya. Masih ada sedikit titik tenang dari mata Gaby untuk Ben, tetapi itu tetap berbeda. Sudah tidak senyaman dulu untuk terlalu lama dipandang. "Gue sayang sama lo," ucap Ben akhirnya.

Kedua mata Gaby mengerjap. Dia memalingkan wajah ke arah lain, karena dia gugup. "Y-ya, terus kenapa? Gue cintanya sama Aran," balasnya.

Ben mengambil kedua tangan Gaby. Namun, Gaby langsung melepaskannya dan mundur beberapa langkah menjauhi Ben. Lagi-lagi hanya senyuman yang dapat ditunjukkan cowok itu. "Gue cuma mau bilang, By. Dan, apa tadi? Cinta? Baru berapa hari lo, deket sama Aran, By, dan lo udah bilang cinta? Memang cinta enggak kenal waktu, tapi itu enggak masuk akal, lho. Apalagi Aran masih pacarnya sahabatmu dulu," celoteh Ben, "Lo enggak kasihan sama Reta? Lo enggak ngerasa bersalah sama dia? Lo jahat, asal lo tahu!"

Hati Gaby semakin dongkol. Kenapa semua orang membela Reta? Tidak ada yang mau membelanya, kenapa? Menurut dirinya sendiri, dia lebih cantik dari Reta. Dia lebih segalanya dari Reta untuk Aran. Namun, Gaby melupakan dua hal. Kesetiaan dan perilaku itu lebih tinggi nilainya daripada paras.

"Gue benci sama Reta!"

"Dia sahabat lo, By."

"Sekarang bukan, Ben!"

Ben mencoba dekat dengan Gaby. Setidaknya untuk yang terakhir kali. "Kalian itu udah ditakdirkan sahabatan. Buktinya, kemarin diculik aja kalian bisa barengan. Yang kaya gitu jangan dihancurin karena cinta," nasihat Ben kepada Gaby.

Karena Gaby seperti kehilangan dirinya sendiri, dia jadi membenci Reta separah ini. Dia tidak sudi dibilang sahabatnya Reta. Mereka sudah bukan sahabat lagi!

"Gue bukan sahabatnya Reta!"

"Tapi-"

"Wajar kalau kemarin kita diculik barengan. Sebenarnya hanya Reta yang diculik, gue enggak. Justru gue yang nyulik Reta. Gue benci sama dia dan gue pengin milikin Aran sepenuhnya. Bego banget, sih, orang-orang!" Gaby berujar dengan nada tinggi.

Perkataan Gaby barusan, membuat Ben melotot. Bagus, dia sudah menemukan apa yang mengganjal hatinya kemarin. Ternyata benar kalau penculikan kemarin sudah direncanakan dan kini pelakunya dengan bodoh mengaku sendiri. Ben membiarkan cewek itu terus mengoceh. Sampai pada waktunya ....

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now