12. Sorry Aran!

423 45 9
                                    

[Happy Reading]

🌻🌻🌻

Dua minggu, keinginan Fifi—mama Aran— untuk bertemu Reta baru terealisasikan. Wanita itu cukup kesal pada putranya yang memberi banyak alasan. Sibuk, cukup klise, bukan? Pada kenyataannya Aran maupun Reta selama dua minggu itu memang sibuk. Aran dengan latihan futsalnya, juga Reta dengan dunianya, belajar.

Pancaran rindu itu pun bisa Reta rasakan saat ibu dari sang pacar memeluknya cukup lama juga menciuminya bak anak bayi. Mereka banyak mengobrol lalu membuat kue dan makanan bersama. Meskipun kalian tahu, bukan, soal memasak, Reta tak begitu banyak membantu? Fifi tidak begitu mempermasalahkan, beliau justru terus memberi dorongan agar Reta mau belajar, bukankah Reta suka belajar?

Tidak lagi ada kecanggungan dari dua perempuan beda generasi itu. Semua terasa menyenangkan. Apalagi ketika mereka membahas masalah perempuan

Pertemuan yang membuat Aran mendadak dianaktirikan oleh sang mama.

Dasar wanita!

Usai berjibaku dengan dunia wanita mereka, akhirnya Aran mendapatkan jatahnya. Seperti saat ini. Mereka duduk berdua, catat, hanya berdua. Duduk di kursi taman yang disetting tepat di bawah pohon rindang, menikmati kue setengah sangit buatan Reta dan Fifi.

"Kamu jangan kaya orang kesambet, deh, Ran!" Aran makin menarik dua sudut bibirnya mencetak senyum di wajahnya, sementara Reta makin bergidik ngeri.

"Muka aku ada yang salah?" cecar Reta melihat Aran dengan wajah menyebalkannya yang terus menatap wajah Reta. Aran menggeleng. "Ada madunya." Begitu ujarnya, hal yang membuat Reta meletakkan kuenya di piring lalu mulai menyapu wajahnya. Tapi masa iya, madu nyiprat-nyiprat ke wajahnya?

Areta cemberut karena tak mendapati apa yang dimaksudkan Aran lantas berkata, "Di sebelah mana? Bantu bersihin dong, Ran, ish!"

"Enggak ada, tapi wajah kamu kaya madu, manis!" Sontak saja Reta melotot. Entah keberanian dari mana, secara refleks meraih kue yang baru digigit sekali dan melemparkannya ke arah Aran. Tepat, kue itu mendarat di wajah cowok menyebalkan itu. Reta bersorak sembari tertawa ngakak, pelurunya jatuh tepat sasaran.

"Reta! Awas ya!" Dan di sinilah pertempuran terjadi. Aran membalas lalu Reta yang mencoba menghindar berlarian ke sana kemari.

Grep!

"Hayo, mau kemana. Ketangkep, kan?" Aran merengkuh tubuh Reta dari belakang, melingkarkan kedua tangannya, mencekal tubuh Reta.

Reta tidak bisa seperti ini, ia harus mengeluarkan jurus terakhir. "Ampun, maaf, maaf. Please, maaf ya?" Di belakangnya, Aran tersenyum miring. Ia lantas melempar potongan kue yang harusnya ia lempar balik ke wajah kekasihnya. Cowok itu malah menggoda Reta dengan menggelitiknya.

"Geli, Ran! Lepasin, aduh, Aran!" Merasa puas Aran segera melepas rengkuhannya, balas menertawakan gadis itu, sementara Reta, antara ngenes dan ingin tertawa.

Reta memasang wajah seriusnya, terlihat jika akan melakukan pembalasan untuk Aran, namun, teleponnya yang di atas meja berdering kencang. Sempat tak ingin menghiraukan, tapi, ponsel itu berdering lagi. Terpaksa, Reta harus menyudahi semua ini.

"Jangan seneng dulu ya, nanti aku bales." Paham, Aran pun hanya terkekeh lalu kembali duduk dan meneguk minumannya. Ia turut menyandarkan punggungnya pada kursi kayu sembari menatap Reta dari sini.

Gadis itu berjalan sedikit menjauh ke tempat yang sedikit panas, membuat Aran harus menyipitkan mata memandang Reta dari bawah pohon sini.

"Besok aku longgar, tapi, setelah pulang sekolah ya?"

"...."

"Enggak usah, kita langsung ketemu aja di sana."

"...."

"Oke, makasih, infonya."

Tut!

Panggilan terputus.

Binar bahagia terpancar di wajah Reta. Membuat sisi posesif Aran tiba-tiba muncul. Cih, Aran tidak suka gadisnya tertawa karena orang lain. Aran melupakan satu hal penting. Ia tak banyak membuat Reta bahagia di sampingnya.

🌻🌻🌻

Keesokan harinya, sepulang sekolah. Mobil putih Aran terparkir di depan gerbang rumah Reta.

"Kamu bener enggak mau mampir?"

"Enggak, aku ada latihan futsal. Seperti biasa," ujar Aran sembari mengedikkan bahu. Reta mengangguk mahfum.

"Istirahat, jangan belajar terus, Ta. Belajar juga enggak harus diforsir berlebihan, nanti kamu sakit."

Areta tersenyum cerah, perhatian kecil ini. "Iya, Aran, lagian aku enggak maniak belajar tahu, wajar-wajar aja!" Seketika otak Aran terasa seperti dicubit. Belajar yang Reta maksud adalah sehari lima kali, macam salat fardu, apa kabar dengan Aran yang paling belajar lima kali seminggu. Itupun tidak berani jamin semua yang dipelajari Aran semua masuk di otak. Otakknya orang pinter emang beda, ya?

Usai menutup pintu, Reta sedikit menunduk, melambai pada Aran. "Hati-hati di jalan. Semangat, ya, latihan futsalnya!" Setelahnya mobil itu benar-benar melaju, meninggalkan pelataran gerbang rumah Reta.

Tepat di perempatan jalan, ketika mobil Aran berhenti karena dihadang lampu merah, cowok itu bersenandung lirih, menunggu lampu kembali hijau. Ah, suara Aran boleh juga. Tidak ada salahnya jika besok memberi kejutan romantis untuk Reta dan menyayikan lagu romantis pula untuk kencan mereka. Ya, Aran harus melakukannya dan meminta bantuan Ben.

"Loh, kaya Reta?" gumam cowok itu, saat melihat seorang gadis berpawakan mirip kekasihnya berdiri di seberang jalan— seperti menanti ojek, sepatu yang dipakai mirip dengan yang Reta beli beberapa minggu lalu, cara berjalannya pun nampak sama.

"Ck , jangan suuzon dulu, Ran, kalem." Aran menenangkan diri, merogoh ponselnya untuk menghubungi Reta.

"Ta, kamu di rumah, kan?" tanya Aran begitu sambungan telepon dijawab.

Di seberang, dahi Areta berkerut. "Di rumah, kenapa sih?"

"Haha, mungkin efek kangen kamu, masa di jalan lihat cewek mirip kamu." Aran terkekeh, ia salah lihat rupanya. Lagipula cewek tadi mengenakan pakaian gombrong lengkap dengan kerudung yang menutup rambutnya yang tergerai, jauh dari style Areta. Sepatu dan cara berjalan bukan penentu jika itu Reta bukan?

"Ck, dasar. Baru juga lima menit, jangan lebay deh, Ran!"

"Haha, jangan ke mana-mana ya, Ta, istirahat. Udah dulu, ya, aku lega kamu di rumah. Miss you, Honey."

Reta tersenyum, lalu meletakkan ponselnya ke dalam tas. "Maaf, ya, Ran. Aku bohong," cicitnya. Senyum Areta luntur, ia menggigit bibir bawahnya. Satu kebohongan Reta selama bersama Aran, semoga saja kebohongan ini akan tetap tertutup rapat.

"Kenapa, Ta?"

"Enggak apa-apa, Kak."

"Ya udah ayo naik lagi, anak-anak di Panti udah nungguin loh!"

🌻🌻🌻

Jawa Tengah, 25 September 2020

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now