17. Jangan ngadi-ngadi!

351 42 10
                                    

Hari Senin besok, kelas Reta akan ada ulangan Fisika. Dia tengah belajar di taman rumah yang dibuat khusus untuknya. Mungkin ini lebih baik daripada Reta terus memikirkan perkara luka di hatinya.

Semalam setelah dia mengutarakan semua yang ada di hatinya kepada mama dan papa, Reta mencoba menelepon Aran. Jangankan diangkat, pesan beberapa hari yang lalu saja tidak dibalas. Dan, malam itu Reta habiskan untuk menangis.

Kalau tahu akhirnya seperti ini, kenapa dia harus bertemu Aran? Kenapa harus bertemu, jika hanya untuk menambah sakit di hati Reta? Harapan Reta, Aran lah obat dari sakit hati yang ia terima di rumah, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Aran sama saja membawa luka.

Sekarang Reta tahu efek dari terlalu mencintai, yakni sakit hati yang tiada henti. Ternyata orang-orang memang benar, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Reta sudah mengalami itu.

Namun, akankah dia melepas Aran begitu saja? Tentu saja tidak! Dia akan mendapatkan Aran-nya kembali. Sudah empat tahun hubungan mereka berjalan, tentunya tidak semudah itu Reta akan melupakan, bahkan melepaskan. Banyak yang terjadi semenjak dia bersama Aran. Tentunya banyak kenangan yang dia dapat dari cowok itu.

Mengingat Aran, rasanya sesakit ini. Reta tersenyum kecil mengingat betapa egoisnya Aran dan betapa bodohnya dia ketika membohongi Aran. Reta semakin sakit lagi, ketika Aran tidak mau mendengar maafnya dan malah mengakui Gaby—sahabatnya sendiri—sebagai pacarnya. Kenapa harus Gaby?

Jika Aran sudah tak cinta lagi dengan Reta, harusnya dia bilang. Tidak seperti ini.

Kalau memang rasamu udah enggak utuh lagi, bilang, Ran. Jangan kaya gini. Jangan membuatku merasa bersalah sekaligus merasa bahwa kamu jahat. Aku bakal mundur teratur, kalau kamu bilang baik-baik.

Tak terasa, air mata Reta menetes di buku fisikanya. Cepat-cepat dia mengusap matanya yang basah, kemudian beralih fokus ke bukunya. Dia tidak boleh seperti ini juga. Jangan sampai nilainya turun karena masalah ini.

"Kebetulan banget kamu di sini, Areta." Suara seorang perempuan mengalihkan perhatian Reta. Dia menoleh ke sumber suara.

Didapatinya Gaby yang berdiri tak jauh darinya. Menatapnya dengan tatapan tak sehangat dulu.

"Ga-by?" Lagi-lagi kejadian itu terputar di benak Reta. Ketika Aran mencium sahabatnya di depan dirinya, sangat sakit. "Mau apa kamu?" Reta mengalihkan pandangannya.

"Enggak, sih. Cuma mau tahu kabar cewek bego, yang ninggalin cowok sebaik Aran demi yang lain," balasan Gaby membuat Reta tersentak. Apa ini? Kenapa Gaby jadi seperti ini?

Huh, sebenarnya berat jika harus melakukan ini pada Reta, tapi bukankah yang salah harus ditegur? Gaby merasa menjadi sahabat paling buruk untuk Reta.

"Maksud kamu apa, By?" Reta tak terima.

"Aku baru sadar, Ta. Ternyata kamu cuma pinter soal pelajaran, kalau soal perasaan, kamu enggak ada apa-apanya." Gaby menjeda penuturannya. "Apa yang pacar barumu punya sampai kamu berpaling dari Aran?" Pertanyaan itu, tanpa Gaby sadari menggores kembali hati Reta.

Bagus, semuanya menyalahkan dirinya. Tidak ada yang berada di sisinya di saat seperti ini. Bahkan sahabatnya sendiri, orang yang selama ini percaya kepada dirinya, sekarang malah ikut menuduhnya.

"Jaga ucapanmu, By! Kak Rivan bukan pacarku, dia pengurus panti yang sering kudatangi. Kenapa kamu kaya gini, sih, By? Kamu enggak percaya sama aku?" Reta menatap sahabatnya dengan kecewa yang berlebihan. "Bahkan di saat kamu pergi sama Aran, aku masih menganggapmu sahabat," lirihnya.

"Kamu cuma alasan, 'kan? Aran enggak mungkin bohong sama aku, karena sekarang aku pacarnya."

Deg!

Ternyata Gaby benar pacar Aran sekarang? Terus aku siapanya? tanya Reta dalam hati, dengan segenap rasa sakit yang menggunung di sana.

"Pilihannya meninggalkanmu benar, Ta. Dia lebih pantas sama cewek yang lebih baik dari kamu."

Tunggu, apa baru saja Gaby menganggap dirinya lebih baik dari Reta?

"Kamu enggak tahu yang sebenarnya antara aku sama Kak Rivan—"

"Yang aku tahu, sih, cuma satu, dan itu sudah valid. Dia selingkuhan kamu!"

Mata Reta panas. Inikah permainan semesta? Yang dulu selalu ada di dekatnya, kini satu per satu mulai pergi. Apakah memang begitu?

"Dan soal Aran, By. Aran masih milikku. Kamu kenapa setega itu?" rintih Reta sembari terduduk di bangku kayu putih.

Gaby tersenyum sinis. "Tega, Ta, kamu bilang? Kamu sendiri yang tega nyakitin Aran. Jadi biarin dia bahagia bersama pilihannya, dan pilihan Aran itu aku. Aku mohon biarin Aran bahagia karena kamu udah enggak berhak apapun atas Aran setelah luka yang torehkan buat dia,"  ujar Gaby sebelum meninggalkan Reta yang semakin terisak di taman itu.

Reta hancur. Dia mencoba tidak percaya dengan apa yang dikatakan Gaby barusan. Akan tetapi, itu kenyataan. Reta harus bagaimana?

"Jangan biarkan eksistensi pelakor makin go on top!"

Tiba-tiba saja kalimat Gaby beberapa saat lalu terngiang di telinga Reta. Reta tersenyum. "Makan ludah sendiri enak, ya, By?"

🌻🌻🌻

Pemuda dengan motor kesayangannya melaju membelah jalanan Ibu Kota, sambil sesekali berdendang ria. Hari ini dia sangat semangat. Dia akan mengunjungi Reta.

Dia berhenti di salah satu toko roti. Kemudian, dia memasuki toko itu dan memilih donat cokelat yang mungkin Reta akan suka. Menurut Rivan, itu sesuai dengan Reta yang manis.

Setelah membeli donat sebagai buah tangan, Rivan kembali melajukan motornya. Toko tadi tidak jauh dari rumah Reta, sehingga tidak sampai lima menit Rivan sekarang sudah berada di depan rumah Reta.

"Udah lama enggak ke sini," gumamnya.

Rivan masuk. Sampai di depan pintu, dia hendak memencet bel dan mengucap salam. Akan tetapi, ketika tanpa sengaja tatapannya berpaling ke sisi rumah, dia menemukan Reta yang sepertinya sedang belajar di sana. Meski dari samping dan dari kejauhan, Reta cantik juga.

Diurungkan niat untuk mengetuk pintu. Rivan mengunjungi gadis cantik yang duduk di bangku panjang itu.

"Permisi, Nona Manis," sapa Rivan. Sengaja dia menggoda Reta. Bukan maksud apa-apa, dia hanya ingin melihat Reta tersenyum.

Merasa ada yang bersuara, Reta menoleh. "Kok di sini, Kak?" Dia sedikit terkejut dengan kedatangan Rivan. Namun, Rivan sama sekali tidak menemukan senyum yang diinginkan. Yang ada malah mata sembab Reta yang terlihat jelas.

"Ta, kamu nangis? Kenapa?" Daripada Aran, Rivan tipikal cowok yang lebih peka.

Pertanyaan Rivan membuat senyum muncul di wajah Reta. Akan tetapi, Rivan tak suka. Senyum ini palsu. Tidak tulus seperti biasanya. "Kakak tahu rumahku dari mana?" Rupanya Reta berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Sadar dengan Reta yang masih belum siap bercerita, Rivan ikut tersenyum. "Hm, kamu benar-benar lupa."

"Lupa apa, Kak?"

"Oh, enggak. Bukan masalah yang penting. Lagian, Kakak juga sudah sampai di sini tanpa tersesat."

Reta tak ingin ambil pusing. Dia hanya mengangguk. "Itu ... Kak Rivan bawa apa?" tanyanya ketika melihat sebungkus plastik yang berada di tangan kanan Rivan.

Rivan menatap tangannya. Dia baru tersadar. "Eh iya, ini Kakak bawakan donat cokelat buat kamu. Dia sama sepertimu, Ta."

"Kok, bisa?"

"Sama-sama manis."

🌻🌻🌻

Tertanda,

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant