4. Terciduk

832 93 51
                                    

Happy Tuesday, Happy Reading!

🌻🌻🌻

Suara berisik dari teman-teman Reta, membuatnya tak konsentrasi dalam belajar. Memang dari tadi dia membaca, tetapi apa yang dibacanya, sama sekali tidak masuk ke dalam kepala. Istilahnya, masuk telinga kanan, kemudian keluar dari telinga kiri.

Reta beranjak dari kursinya, sembari membawa buku yang tadi dia baca. Dia hendak pergi. Namun, suara Gaby mengurungkan langkahnya.

Ternyata, Gaby hanya ingin bertanya dia mau pergi ke mana, dan menawarkan diri untuk menemaninya. Akan tetapi, Reta ingin sendiri. Dia menolak tawaran Gaby. Sudah lama mereka bersahabat, tentunya membuat Gaby memahami Reta. Siapa pun ketika belajar pasti tidak suka kebisingan, begitu juga dengan Reta. Hal itulah yang membuat Gaby, mengiyakan tolakan Reta ketika dia ingin menemani sahabatnya.

Dengan satu buku di tangan kanan, dan botol minum di tangan kirinya, dia berjalan sendirian menuju tempat kesukaannya, yaitu Perpustakaan. Ini jam kosong. Tidak apa-apa jika keluar untuk membaca buku, pikir Reta.

Sebenarnya, di lorong itu cukup sunyi. Kegiatan Belajar Mengajar sedang berlangsung, otomatis kebanyakan siswa menyimak pelajaran dari gurunya. Namun, kali ini yang berisik ialah bunyi dari dalam kepala Reta. Kepalanya dipenuhi dengan orang tua Reta yang tidak pernah akur. Terkadang, Reta bertanya dengan dirinya sendiri, apakah mereka tidak lelah?

Sesekali Reta juga merasa penat, jika terus-terusan dituntut oleh kemauan orang tuanya. Sesekali dia ingin melakukan seperti apa yang dilakukan temannya. Mungkin, niat papanya baik. Dia ingin Reta menjadi anak yang seimbang. Dalam artian, papanya ingin dia bisa dalam hal yang memerlukan otak dan otot. Pun dengan mamanya, yang menyuruhnya belajar dan melakukan perawatan apa itu namanya Reta tidak terlalu paham. Mamanya ingin dia pandai menjaga kebersihan tubuhnya dan menjadi anak yang pandai. Ya, itu baik.

Namun, pernah Reta merasa dituntut menjadi seseorang yang sempurna. Tanpa bantuan siapa pun, termasuk yang menuntutnya sempurna. Anina dan Fernan hanya memerintah, tanpa mau mendengarkan jika Reta berkeluh kesah.

Reta menghela napas, kemudian tersenyum. "Enggak apa-apa. Mungkin ini yang terbaik. Ya, mungkin." Dia sedikit mempercepat langkahnya.

Di saat Reta hendak berbelok, dia tak sengaja bertemu Aran. "Mau ke mana, Ta?"

Agaknya, mendengar satu pertanyaan dari Aran mampu mengembalikan semangatnya. Bucin , ya? Ah, tapi apa boleh dikata? Orang yang sedang kasmaran memang begitu.

Sebenarnya Reta ingin sendiri saja pergi ke perpustakaan. Namun, Aran berkata, "Aku mau ikut, Reta. Supaya nanti enggak ada cowok yang ganggu kamu."

"Di perpustakaan, Ran. Bukan di tempat yang ramai. Tenang aja," balas Reta.

"Areta ...."

Hmm, jika sudah seperti itu, Reta mana bisa menolak? Sisi posesif Aran mulai tampak di mata Reta. Namun, entah ada apa, dengan itu Reta malah merasa dijaga. Ada yang memperlihatkannya, meski sedikit membuatnya takut.

Hanya Aran.

Akhirnya mereka berdua pergi ke perpustakaan. Setelah sedikit debat dengan ibu penjaga perpustakaan, yang sempat tidak mengizinkan Aran masuk karena kelasnya bukan jam kosong, akhirnya mereka diizinkan masuk. Tentunya, Aran beralasan, "Saya juga mau cari buku pelajaran, Bu. Buku saya ketinggalan."

Reta sempat hendak tertawa. Namun, lirikan tajam Aran membatalkannya.

Mereka duduk di sudut ruangan, yang tentunya masih bisa dijangkau pandang oleh ibu perpustakaan. Reta mulai membaca bukunya, dan Aran pura-pura membalik-balikkan buku yang tadi asal dia ambil. Reta tahu kalau Aran tidak membaca. Namun, dia membiarkannya.

Tanpa disadari, Aran yang tadinya berada di depan Reta, kini sudah berada di sampingnya. "Reta," panggil Aran. Reta menoleh, ternyata Aran usil. Spidol yang ada di meja itu, dia gunakan untuk mencoret hidung Reta dari samping.

"Yah, Aran jahil banget. Mukaku, kan, jadi kotor," keluh Reta. Dia merogoh saku roknya, tetapi tidak menemukan tissue. "Ah, Aran! Aku enggak bawa tisu." Sedangkan Aran malah terkekeh melihat Reta yang kelabakan.

Aran tidak kuasa tertawa terlalu lama. Selain perutnya sakit, dia tidak mau dikeluarkan dari perpustakaan jika membuat kegaduhan. Diambilnya sapu tangan yang masih bersih dari sakunya, kemudian berkata, "Sini, aku bersihin." Reta menurut saja. Dia juga tidak mau kembali ke kelas dengan wajah konyol. "Hmm, pacarku cantik juga kalau cemong begini," gumam Aran membuat Reta mengerucutkan bibirnya.

"Kamu lagi latihan buat majas ironi, ya, Ran?" sungut Reta. Aran terkekeh, sedetik kemudian, dia mencubit hidung Reta. "Beneran cantik, kok."

Reta tak sengaja memekik. Dia balik mencubit hidung Aran dan kedua pipinya. "Impas, ya!" Reta tertawa puas.

Tanpa mereka sadari, Bu Rere, ibu penjaga perpustakaan, sudah berdiri di belakang mereka dengan wajah garang sembari menggelengkan kepalanya. "Reta, Aran, kalau mau pacaran tahu tempat, dong! Ini perpustakaan, ya!" omelnya.

Aran dan Reta berdiri. Dengan sebelah tangannya yang kosong—sebab tangan kanannya membawa botol minum Reta— Aran menggandeng tangan Reta.

"Maaf, Bu," ucap mereka berdua kompak.

"Maaf, maaf! Kalian sudah mengacaukan ketenangan di perpustakaan ini. Untung tidak banyak siswa yang di sini. Kalau tidak kali–" Bu Rere menatap tajam ke depan ketika tidak mendapati dua muridnya yang sudah tidak di tempatnya. "ARETA! ARAN! IBU BELUM SELESAI BICARA, YA!"

🌻🌻🌻

"Huh, capek, Ran!" kata Reta ketika mereka berhasil lolos dari Omelan Bu Rere. "Minumku ada di kamu?"

"Oh, ini, Ta." Menyerahkan botol minum Reta yang tadi dia bawa. "Maaf, ya, udah buat kamu capek gini. Aku males dengar Bu Rere ngomel," ucap Aran.

Usai menegak minumnya, Reta tersenyum kecil. Seperti ini saja, sudah membuat Reta bahagia. Andai, dia dapat menceritakan hal-hal kecil semacam ini kepada orang tuanya. Iya, hanya andai.

"Aran," panggil Reta. "Kenapa?"

Detik selanjutnya, Reta memeluk Aran. Di belakang sekolahnya, Reta secara terang-terangan memeluk kekasihnya. Seolah tidak ada yang orang di sekitar, padahal ada Mang Cilok Tasik yang biasanya mangkal di pintu belakang sekolah. Di kejauhan, tampak Mang Cilok melongo, sampai salah menuangkan kecap ke dalam cilok yang masih di dalam panci.

Aran yang diperlakukan seperti itu, sedikit tersentak. Jantungnya tak aman. Dia takut jika tiba-tiba keluar dari tempatnya.

"Boleh aku cerita? Dan, mau enggak kamu yang jadi pendengar?" Reta bertanya, tanpa melepas pelukannya. Dengan senang hati, Aran menjawab, "Tanpa izin pun, kamu boleh cerita kapan saja."

Tidak, Ran. Kadang sikapmu membuatku takut untuk sekadar berkata sekecap. Namun, kamu tetap yang terbaik. Ya.

🌻🌻🌻

AN:

Gimana part ini? Kalian menikmati atau kurang puas?

Yang belum pencet vote "⭐" pencet dulu dong^^

Masih ingat pesan kemarin? "Racunin temen-temen kalian buat baca LUL!"

Follow penulis:

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now