16. Kapan Sembuh?

386 42 11
                                    

Lima belas menit yang lalu, latihan futsal sudah selesai. Namun, kata selesai tidak diperuntukkan untuk Aran. Dia masih ditahan oleh pelatihnya di tepi lapangan ini. Mengingat akhir-akhir ini skill Aran menurun, Pak Andi—selaku pelatih Aran—merasa mempunyai kewajiban untuk mengingatkan anak itu. Dia juga sayang jika anak seperti Aran yang mempunyai kemampuan dalam futsal nantinya akan dikeluarkan dari ekstrakulikuler ini.

"Jadi, kenapa akhir-akhir ini saya lihat kamu kurang fokus, Ran? Kemampuanmu ikut menurun dan itu membuat posisimu bisa tergeser oleh pemain lain," ujar Pak Andi.

Sambil memegangi botol minumnya, Aran kebingungan mencari alasan untuk menjawab pertanyaan pelatihnya. Tidak mungkin dia menjawab karena Reta. Malulah dirinya kalau ketahuan sebucin itu.

"Aran?"

"Emm, anu, Pak. Ada masalah pribadi yang benar-benar mengganggu pikiran saya. Saya minta maaf sekali, jika itu mengganggu kelancaran latihan ekstrakulikuler ini," ucap Aran.

Pak Andi mengernyit. Selanjutnya, beliau tertawa ringan mendengar penuturan dari anak didiknya. Hal itu mengingatkan beliau ke masa muda dulu. Dua tepukan mendarat di punggung Aran.

"Ran, Ran. Bapak paham. Tidak perlu disembunyikan seperti itu. Bapak tidak akan menghukum kebucinanmu, kok," kata Pak Andi.

Aran sempat tercenung mendengar hal itu."Bagaimana Pak Andi bisa tahu?" tanya Aran dalam hati.

"Bapak tahu karena dulu juga seperti itu, Ran. Sudah cukup menebak-nebak Bapak tahu dari mana. Di samping itu, akhir-akhir ini Bapak juga jarang lihat siswi cantik yang biasanya menunggumu," ungkap Pak Andi. Aran mengangguk dan tersenyum kikuk. "Ran, sebagai pelatihmu, Bapak cuma mau berpesan. Skill kamu sudah bagus, jangan sepelekan soal itu. Sayang kalau kamu tahun ini tergeser dari daftar anggota turnamen SMA Andala."

Aran menunduk, merasa sudah banyak mengecewakan pelatih dan timnya. "Maaf, Pak."

Pak Andi tersenyum. "Bapak tidak butuh maafmu, karena Bapak lebih butuh penampilanmu yang sudah kembali maksimal di latihan selanjutnya. Bagaimana?"

Yang ditanya mengangguk. "Insyaallah, saya akan memberikan yang terbaik di latihan selanjutnya. Saya akan fokus pada turnamen tahun ini dan tidak akan mengulangi kesalahan di turnamen lalu," tuturnya.

Sang pelatih mengangguk-angguk. Kembali, beliau menepuk bahu Aran. "Kamu masih muda. Jangan sia-siakan bakatmu, rezeki tidak ada yang tahu dari mana. Satu lagi, jangan sampai rusak semua yang sudah kamu bangun, hanya karena perempuan. Tahu apa yang dapat membuat lelaki lalai?" tanya Pak Andi.

"Harta, tahta, dan wanita, Pak," jawab Aran.

"Nah, itu tahu. Ingat pesan Bapak, ya. Bapak mau pulang dulu. Keburu kangen sama istri di rumah," bisik beliau di akhir. Sedikit menghibur Aran yang berwajah kusut sejak beberapa hari yang lalu.

Sepeninggal pelatihnya, Aran diam beberapa menit di tempatnya. Memikirkan dirinya, Reta, dan hubungan mereka. Setelah dikira cukup, dia mengambil tasnya dan meninggalkan tempat itu.

Sekolah cukup sepi karena sudah sore hari. Hanya tinggal beberapa sepeda motor di tempat parkir khusus untuk murid. Salah satunya ialah motor Aran. Motor yang sering dia gunakan untuk pergi dengan Reta. Namun, akhir-akhir ini jok belakangnya bukan Reta yang menempati, tetapi Gaby. Kira-kira, rindu tidak, ya, jok belakang Aran dengan Reta?

Beberapa langkah lagi, Aran sampai ke tempat di mana motonya terparkir. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba menyeretnya ke tempat yang agak sulit dijangkau oleh mata.

Tanpa aba-aba, orang tadi memukul wajah Aran. Sudah, memar tergambar di salah pipi kanan Aran.

"Satu tadi, buat lo yang udah ngerebut Gaby dari gue," ucap Ben dengan wajah murka.

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now