24. Merelakan

1K 58 22
                                    

Pemuda itu berjalan dengan langkah lunglai. Tak ada senyum di wajahnya sejak berangkat ke sekolah. Tatapannya menatap kosong tampak sendu. Kemudian, bertambah masam wajahnya ketika ia melihat pemandangan yang sangat ia hancurkan. Namun, ia sadar. Ia sudah terlalu banyak memberi sakit gadis itu. Tak pantas untuk menambahnya lagi kali ini. Bahkan, nanti ia akan mencoba bicara dan memperbaiki semua. Yah, dengan harapan gadis itu mau mendengar dan menerima.

Aran melanjutkan langkahnya, setelah tadi berhenti karena melihat Reta turun dari boncengan seorang lelaki, yang tak asing di mata Aran. Perawakannya persis seperti yang ia lihat beberapa hari yang lalu. Ia tersenyum kecut, semakin hari pikirannya semakin kalut. Semuanya kacau karena Reta.

Bak kaca yang tak sengaja jatuh, kemudian pecah. Begitulah rupa hati Aran saat ini. Beberapa hari ini ia melihat Reta berangkat bersama lelaki itu dan pulang pun sama. Hal itu membuatnya merasa malu untuk sekadar menunjukkan wajah di depan Reta. Pun jika ia pergi ke rumah Reta. Anina pasti sudah tahu dan membencinya habis-habisan. Terbukti Reta diizinkan pergi bersama lelaki lain, selain dirinya.

"Gue pikir, bersama dalam waktu yang cukup lama bisa sampai nanti dewasa, kemudian menua bersama. Tapi nyatanya enggak. Waktu bukan kunci itu semua. Ternyata, kuncinya adalah si egois yang ada di diri kita." Aran meracau dalam hati. Dia tak bisa fokus memperhatikan pelajaran hari ini.

Entahlah apa yang akan terjadi dengan tubuh Aran setelah ini. Dia pergi ke sekolah tanpa sarapan dan di sekolah dia juga tidak keluar kelas untuk membeli makanan. Ben yang tadinya prihatin dan membelikannya roti, sekarang roti itu masih di kelas yang sudah tak berpenghuni.

Aran berhenti di depan kelas Reta. Sekali saja, setidaknya untuk yang terakhir dia ingin berbicara dengan gadis itu. Melepas rindu sebelum nantinya akan kembali merindu tanpa tahu titik temu.

"Ran, kamu mau jemput aku? Kukira kamu marah sama aku," celetuk seseorang, bukan Reta, melainkan Gaby. Dengan tidak tahu dirinya dia masih berani menampakkan wajah di depan Aran. Aran menatapnya dengan sorot penuh kebencian.

"Kita udah enggak ada urusan dan siapa lo mau gue jemput? Orang jahat kaya lo, seharusnya enggak ada di sini." Pedas, kata-kata Aran barusan membuat hati Gaby lecet. Oh, ternyata Gaby masih punya hati. "Gue cari Reta."

"Kamu udah tahu, Ran?" tanya Gaby lirih, "Aku kira dengan cara kemarin, aku bisa milikin kamu seutuhnya. Ternyata, itu malah bikin kita jauh. Aku sadar caraku salah. Tapi apa kamu bisa lihat aku di sini, Ran? Aku cinta sama kamu."

"Enggak usah lebay kaya gitu, deh, By. Gue tanya di mana Reta. Dan untuk urusan apa gue lihat lo? Kalau lo enggak mau ngasih tahu di mana Reta, mending lo pergi dari hadapan gue. Muak gue lihatnya!"

"Maaf."

"Pergi, By!" geram Aran.

"Maaf, Ran."

"Gue bilang pergi, ya, pergi!" Teriakan Aran cukup mengundang beberapa perhatian dari murid yang lewat di situ. Beruntungnya, sekolah sudah sepi.

Gaby sempat tersentak. Ia tersenyum kecut, menyesali segala perbuatan bodohnya kemarin dan hari ini. "Oke, ak-gue pergi. Untuk pertanyaan lo, gue jawab sekarang. Reta udah pulang sama Kak Rivan." Setelah mengatakan itu, Gaby benar-benar pergi dari hadapan Aran dengan air mata yang menetes seiring langkah. "Maafin gue, Ta, maaf."

Jawaban Gaby barusan membuat hati Aran lagi-lagi tercubit. Namun, satu fakta sudah ia ketahui. Nama lelaki itu adalah Rivan. Tunggu, Rivan? Aran mencoba mengingat-ingat sosok itu. Apakah mereka orang yang sama? Ah, tidak-tidak. Aran berusaha mengalihkan kenyataan itu.

Ia bergegas menuju motornya dan dilajukan ke rumah Reta. Untuk memastikan sendiri apakah dugaannya benar atau salah, dia harus pergi ke rumah Reta. Tak peduli akan disambut baik, atau nantinya diusir oleh Anina. Kemungkinan besar lelaki tadi masih ada di rumah Reta, pikir Aran.

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now