19. Berbagi

369 38 17
                                    


••••••••••🌻 Happy Reading 🌻••••••••••


Sedikit keberanian mungkin perlu. Bukankah seorang lelaki harus gentle? Itu yang dilakukan pemuda berparas tampan itu. Berbekal macaron red velvet kesukaan Reta, semoga bisa memperbaiki suasana hati gadis manis itu. Lama tak jumpa, semoga perjumpaannya kali ini tidak mengecewakan.

Pemuda tadi tersenyum di balik pintu, lalu akhirnya memberikan tiga pencetan bel yang tersemat di samping pintu. 

Anina sedikit mendengkus, ajang mengecat kukunya belum selesai, lalu tiba-tiba bel rumahnya berbunyi pertanda ada tamu. Jarang-jarang wanita itu mau membukakan pintu untuk tamu, toh ada ART, tetapi berhubung Bi Uti sedang berbelanja kebutuhan dapur, Anina membukanya.

"Siapa, ya?" tanya Anina. Suaranya di dalam terdengar dari luar. Pintu kayu terbuka menampilakan tubuh ramping wanita yang hampir memasuki kepala empat.

Anina memincingkan mata, menciptakan kerutan di sekitar matanya. Raut mukanya menatap pemuda berpenampilan rapi di depannya ini. "Loh, kamu ... siapa, ya?" tanya Anina. Pemuda tadi tersenyum, lalu menyalami Anina begitu sopan. "Rivan, Tante."

"Reta-nya ada, Tan?"

"Masuk, biar Tante panggilkan."

"Tuh, cowok kamu dateng!" ujar Anina setengah sinis di muka pintu kamar putrinya. Reta yang dari tadi mencoba memfokuskan diri dengan buku-buku kimia menatap sang mama. "Aran ke sini, Ma?"

Jauh dari dugaan Reta, sesosok pemuda yang ia harapkan kehadirannya itu bukanlah Aran, melainkan Rivan.

"Kakak bawain kamu macaron, tapi aku titipin ke mama kamu."

"Ah, iya, Kak. Terima kasih, ya."

Reta menggiring Rivan bukan ke ruang tamu, melainkan ke taman samping rumah. Cukup suntuk, jika yang ia tatap hanya tembok.

"Kamu kenapa beberapa hari ini enggak ke Panti, Ta?" tanya Rivan sembari mengamati sekitar.

"Soal itu, Reta minta maaf ya, Kak. Reta lupa kasih kabar, tugas numpuk soalnya." Reta terkekeh lalu dibalas senyum pula oleh Rivan. Reta itu bohong, yang menumpuk bukan tugas, tapi luka yang dihadiahkan Aran kepadanya.

Hening beberapa saat. Rivan merasa, suasana tiba-tiba menjadi sedikit cangggung.

"Kamu ada masalah, ya?" cetus Rivan tiba-tiba. Reta yang semula menunduk langsung mendongak dan memutar kepala, menatap Rivan dengan wajahnya yang kaget setengah bingung.

"En-enggak kok, Kak." Setelahnya Reta kembali tertunduk.

"Kamu enggak jago bohong. Kalau mau cerita, Kakak bakal dengerin," ujarnya dengan seulas senyum tipis. Reta terenyuh, lalu memorinya secara spontan mengingat sosok Aran. Selama empat tahun mereka bersama, Aran baru meminta Reta berbagi cerita dan mau mendengarkan keluh kesah Reta baru terealisasikan beberapa minggu lalu, saat hubungan mereka masih baik. Beralih pada sosok pemuda di depannya ini, Rivan begitu baik, peka, juga berhati lembut, bertolak belakang dengan sikap Aran yang kadang menjelma menjadi setan. Well, untuk saat ini, rupanya Aran cukup betah berlama-lama menjelma menjadi setan.

"Ta, kamu enggak boleh membandingkan mereka berdua!" batin Reta tersadar jika tak seharusnya ia melakukan hal tadi.

"Masalah itu jangan cuma dipendam sendiri, Ta, jadi penyakit. Lebih baik curahkan walau sekedar lewat beberapa kalimat singkat. Kakak tahu kamu enggak baik-baik aja kaya yang baru saja kamu bilang." Gadis itu memainkan jari, menggigit bibir bawahnya, nampak begitu gelisah.

"Kamu tahu, apa kesalahan terbesar dalam hidup ini?" Rivan menatap Reta begitu dalam. Gadis itu menggeleng.

"Membohongi diri sendiri. Kamu enggak kasihan sama hati dan perasaan kamu yang terus dikorbankan?"

Reta terdiam sesaat, meresapi ucapan Rivan barusan. Entahlah, apa harus dia cerita masalah pribadinya pada orang yang notabenenya masih baru di kehidupan Reta, atau justru sebaliknya?

"Yah, Kakak paham. Kamu enggak harus kok, cerita sama Kakak, tapi saran Kakak, berbagilah sama orang yang kamu rasa dia bisa dipercaya, supaya lega, soalnya kamu kelihatan terbebani banget." Keduanya bertukar pandang. "Reta enggak punya tempat buat membaginya." Rivan tersentak, satu fakta yang baru ia tahu, Reta nampak begitu rapuh kali ini. "Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Rivan.

"Apa Kakak mau, jadi tempat berbagi buat keluh kesah Reta kali ini?" Senyum di wajah Rivan kian mengembang.

"Jangankan hanya untuk satu kali ini saja, Ta, kalau pun kamu meminta Kakak untuk menjadi tempat kamu berbagi keluh kesah sampai nanti, dengan senang hati Kakak melakukannya." Reta tertegun sejenak.

Waktu bergulir cepat, Reta merasa lega ketika semua tanya di hatinya berhasil ia utarakan meskipun tak sampai pada tempat seharusnya, Aran. Yah, semua tanya yang ada di benak Reta, semuanya tertuju pada Aran. Reta tak sepenuhnya memberi detail awal kobaran api, jelas di sana terseret nama Rivan, dan Reta tak mau membuat ini semakin rumit.

Rivan memberikan wejangan cukup berharga untuk Reta. Tentang belajar ikhlas, tegar, juga sabar. Akan tetapi, bukankah Reta sudah cukup sabar sejauh ini?

"Untuk sebuah hubungan yang berjalan cukup lama, menurut Kakak, hubungan kalian terlalu toxic. Tapi, kalau pilihan kamu tetap bertahan dan memperjuangkan kembali , pesan Kakak cuma satu, Ta. Berhenti dan akhiri jika semua yang kamu lakukan semakin melukaimu."  Namun, bukannya Reta selalu makin terluka tiap harinya?

Obrolan mereka berakhir dengan Aran yang berpamitan. Well, sebenarnya pemuda itu ingin berpamitan dengan mama Reta, tapi gadis itu bilang jika mamanya tadi pamit pergi. Oh, sejak kapan Reta pandai berbohong? Nyatanya di balik jendela ruang tamu, Anina memperhatikan kedua anak muda yang bercengkrama serius di luar sana.

Anina sedikit tidak terima ketika tahu fakta bahwa saat ini, hubungan putrinya merenggang dengan calon mantu—Aran—bersama dengan praduga hadirnya orang ketiga yang disebut-sebut adalah seorang pemuda pengurus Panti. Anina mengacungi jempol dengan keberanian pemuda tadi yang datang kemari tanpa membawa rasa bersalahnya.

Anina, jelas Rivan tidak akan pernah menunjukkan itu, sebab semua berawal dari kesalahpahaman Aran.

"Jadi, itu lelaki yang berhasil kamu goda, Ta?" Baru masuk, suasana hati Reta yang semula sedikit membaik langsung kembali memburuk.

"Ma, berapa kali harus Reta bilang. Reta enggak menggoda siapa pun."

"Tapi fakta ada di depan mata Reta!"

"Ma, Reta mohon ...."

"Apa hebatnya dia? Apa dia lebih kaya dari keluarga Aran? Dari tampilannya saja, Mama bahkan yakin seratus persen jika Rivan tak lebih dari seorang pemuda kelas menengah ke bawah."

"Ma ...," rengeknya.

"Kamu mencintai Rivan? Dasar apa yang kamu pakai, cinta? Memang, kamu pikir bisa hidup bahagia hanya dengan makan cinta?"

"Reta enggak suka sama Kak Rivan. Soal kebahagiaan, kita berkecukupan, 'kan, Ma? Tapi kenapa Reta enggak bisa merasakan kebahagiaan? Apa benar, Ma, bahagia hanya bisa diukur lewat sebuah harta dan tahta?"

"Buka mata kamu lebar-lebar, Reta, Rivan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Aran?"

"Bagaimana Mama bisa tahu kalau Aran lebih baik dari Kak Rivan? Seenggaknya, Kak Rivan belum pernah nyakitin Reta kaya yang Aran lakuin saat ini ke Reta!"

••••••••••🌻🌻🌻••••••••••

Tertanda,

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now