9. Gengsinya Aran Hilang

495 53 15
                                    

Dengan motor matic kesayangan mamanya, Aran menerobos teriknya matahari sore ini. Bensinnya tinggal sedikit, dengan meminjam motor milik mamanya, Aran bisa menjemput Reta, tanpa harus mengeluarkan uang bensin. Ya, uangnya bisa digunakan untuk kencan, sih.

Aran ijin kepada mamanya untuk menjemput Reta. Dia berbohong kalau tadi Reta ingin ganti baju terlebih dahulu. Padahal, sebenarnya ada masalah di antara keduanya. Syukurlah, mama Aran percaya akan hal itu.

"Ya Rabb, maafkan Aran yang ganteng ini karena sudah membohongi mama. Semoga, kalau mama tahu, mama enggak ngutuk Aran jadi batu pinggir Empang. Eh, semoga mama enggak tahu, Ya Rabb," batin Aran memelas.

Belum jauh dari rumahnya, Aran menghentikan motornya di tempat yang cukup sepi. Sepertinya ada yang kurang. Kemudian, dia melihat kaca spion. "Udah ganteng." Lanjut, dia memeriksa bajunya. "Udah rapi, udah wangi juga. Apanya yang kurang?" tanyanya kepada dirinya sendiri.

Sempat berpikir sejenak, akhirnya Aran menemukan jawabannya. Dia membalikkan motor mamanya, dan segera kembali melajukan kuda besi itu. Tak lama-lama, cukup lima menit Aran sampai ke tempat tujuan. Tempat di mana ada sesuatu yang tertinggal.

Dia turun dari motonya, lalu mengetuk pintu bercat putih itu. Setelah mengucap salam dan menjawab sahutan dari orang yang ada di dalam, hati Aran sedikit lega.

"Bendul, temenin gue, tolongin gue, please," pinta Aran memelas ketika pemilik rumah membukakan pintu. Tanpa aba-aba, Aran memegangi tangannya sambil menunduk, memohon-mohon.

Namun, sesuatu yang aneh dirasakan Aran. Satu pertanyaan, tangan Bendul ... kenapa keriput? Kemudian dia mendongakkan wajahnya dan detik selanjutnya dia gelagapan. Malu, takut, apalah itu campur jadi satu.

Bukan tangan Ben yang dipegang Aran, tetapi .... "Maaf, Om. A-aran enggak tahu kalau tadi Om Wisma," ucap Aran sedikit gugup. Ya! Tadi itu tangan Om Wisma, yang merupakan paman Ben. Ben di Jakarta tinggal di rumah pamannya. Rumah aslinya, ada di kampung.

Wisma yang terkenal absurd itu, mengelus-elus kumisnya, kemudian tertawa. Aran membatin, "Apanya yang lucu?" Namun, dia tetap menunduk. Takut. "Aran, Aran. Sebentar, Om panggilkan Ben," kata Wisnu.

See? Bukannya marah atau menegur, Wisma malah tertawa dan ... yah, absurd memang. Aran hanya mengangguk-angguk sambil membatin heran tentang paman temannya, Bendul.

Cukup lama Aran menunggu, akhirnya Ben keluar dengan boxer bermotif Hello Kitty dan muka bantal, Ben berjalan dengan malas-malasan. Aran mati-matian menahan tawa. Jika dia menertawakan Ben, bisa-bisa Ben merajuk dan tidak mau menemaninya pergi ke rumah Reta. Jadi, diam saja sudah cukup.

"Mau ngapain, sih, Ran? Ganggu gue tidur aja." Ben bertanya dengan suara khas orang bangun tidur.

"Ngapain aja, ayo! Kita enggak punya banyak waktu," jawab Aran, langsung menarik tangan Ben yang kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.

Aran tidak peduli dengan penampilan Ben. Yang terpenting sekarang adalah pergi ke rumah Reta. Andai dia menjelaskan akan pergi ke mana, pasti Ben langsung menyadari penampilannya dan harus ganti baju. Aran tidak mau membuang waktu! Apalagi Ben kalau ganti baju melebihi cewek-cewek yang mau kencan. Lama. Bisa ditinggal piknik, kata orang-orang.

Di jalan, Ben masih sesekali menguap. Dia menyandarkan kepala di punggung Aran. Sebenarnya Aran tak ikhlas, itu untuk Reta, tetapi ... demi Reta juga, Aran terpaksa.

Terima kasih, Bendul!

🌻🌻🌻

"Reta, aku minta maaf, ya. Tadi aku enggak bermaksud buat kamu sedih. Aku cuma ...."

Kalimat Aran terhenti ketika dia melihat teman-temannya. Ben menatapnya dengan tatapan miris, sedangkan Gaby menatapnya dengan tatapan mematikan. Reta? Reta pacarnya, sama sekali enggan menatap Aran. Dia masih kecewa.

Sesampainya Aran dan Ben di rumah Reta, kebetulan Reta dan Gaby masih berada di luar rumah. Sebenarnya Reta sudah bersiap hendak masuk ke dalam kamarnya, tetapi karena Gaby melarangnya dan menyuruh Reta untuk mendengarkan perkataan Aran, akhirnya Reta mau. Meski terpaksa.

"Cuma mau bikin aku kecewa, kan, Ran?" celetuk Reta, menghentikan lamunan Aran.

Aran gelagapan. Dia mengambil tangan Reta, yang duduk di sampingnya. "Enggak, aku tadi ... cemburu aja." Nada bicara Aran memelan di akhir.

Reta tersenyum kecut. "Harusnya yang kaya gitu aku. Alasan kamu enggak masuk akal, Ran." Dia melepas tangannya yang tadi digenggam Aran. "Aku juga berhak, Ta. Tadi aku cek ponsel kamu, banyak cowok yang ngirim pesan ke kamu. Makanya aku–"

"Kamu enggak pernah dewasa, Ran! Apa kamu lihat kalau ada satu pesan yang aku balas? Cuma masalah kaya gitu. Bukannya kamu sendiri yang kemarin bilang kalau aku cuma punya kamu? Dari dulu, emang kamu enggak pernah percaya sama aku." Reta memalingkan wajahnya, hendak menangis. Akan tetapi, dia cukup kesal dengan sikap Aran. Di sini, semuanya seolah-olah hanya Reta yang salah. Aran tidak pernah dewasa, tetapi dia tetap mencintainya. Areta benci situasi itu.

Aran diam. Di saat seperti, apa yang dikatakan Reta benar. Dia sebenarnya ingin marah, baru kali ini Reta berbicara dengan nada tinggi kepadanya. Namun, hal apa yang bisa dijadikan alasan untuk marah? Semuanya benar. Dirinya tidak pernah bisa berpikiran dewasa. Asal Reta tahu, Aran bersikap seperti itu karena dia sangat mencintai Reta. Dia tidak mau kehilangannya, selamanya Reta itu miliknya.

Dia tidak boleh menyerah! Reta harus memaafkannya, ya ... itu salah Aran. Hanya karena masalah sepele, jangan sampai Reta lepas dari genggamannya. Untuk kali ini, gengsi dia kesampingkan demi Reta.

"Ta, iya aku salah. Aku minta maaf. Janji enggak ngulangin lagi. Aku kaya gini juga karena aku enggak mau kamu pergi. Maaf, please?" Aran berjongkok di depan Reta, kembali mengambil kedua tangan Reta.

Reta yang tak kuasa menahan air matanya, akhirnya menangis juga. "Janji jangan gitu lagi dan percaya sama aku, ya, Ran?" Dia mengacungkan jari kelingkingnya. Ada sedikit rasa terpaksa di hati Aran, tetapi Aran tetap mengangguk dan menakutkan jari kelingkingnya dengan milik Reta. "Janji. Maaf, ya."

Di tempatnya, Ben meremas-remas bantal yang ada di sofa. Dia gemas sendiri melihat adegan di depannya. Dia iri, dia jomlo. Ya Tuhan, rasanya dia ingin menghilang saja dari tempat ini.

"Gue ganteng, kok. Tapi kenapa masih jomlo?" gumamnya.

Gaby yang sama geregetnya dengan Ben setelah melihat sahabatnya memaafkan kekasihnya, terkekeh mendengar gumaman Ben. Dia menyahut, "Lha gimana enggak jomlo, orang masih Makai boxer Hello Kitty!"

Ben menoleh. Dia lantas melihat pahanya. Poor! Kenapa ... dia bisa seceroboh ini? Dan, kenapa Aran tega sekali tidak memberitahunya? Malu bukan kepalang Ben saat itu.

"Modelan kaya lo mana ada yang mau, Ben." Gaby tertawa renyah. Tak habis pikir dengan cowok di sampingnya.

"Heh, dengar, ya, By. Cowok kaya gue itu langka. Buktinya berani keluar pakai boxer motif Hello Kitty. Gue apa adanya, By. Awas aja kalau lo sampai suka sama gue. Gue tolak mentah-mentah cewek modelan kaya lo," balas Ben sedikit tidak terima. Ah, yang sebenarnya dia malu dengan penampilannya saat ini. "Awas aja lo, Ran. Habis dari sini, gue gibeng lo!" umpat Ben dalam hati.

"Hah? Gue? Suka sama lo? Bangun, woi! Tidurnya kurang nengah!"

🌻🌻🌻

Jawa Tengah, 21 September 2020

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang