21. Tidak Ada Ruang

364 38 13
                                    


••••••••••🌻 Happy Reading 🌻••••••••••

Sudah berulang kali Reta berusaha melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya dengan kursi, tetapi tetap tidak bisa. Tenaganya kian melemah, sebab dia juga lapar. Harusnya pulang sekolah setelah istirahat dia makan. Namun, untuk sore ini tidak. Dia malah terperangkap di dalam gudang gelap bersama sahabatnya. Sahabat?

Gaby juga tampak kewalahan melepaskan ikatan di tangannya. Dia menatap tajam Reta dan itu membuat Reta tersentak. Apa makna dari tatapan Gaby? Bulir-bulir keringat semakin terlihat jelas di dahi Reta.

Mengabaikan Gaby, dia mengalihkan perhatian ke arah tumpukan kardus yang menutupi jendela. Meskipun hanya ada sedikit celah, Reta dapat melihat kalau di luar sudah semakin gelap. Kini, keringat sudah bercampur dengan air mata di wajah Reta.

Sebenarnya, siapa yang melakukan ini kepadanya? Dan, kepada Gaby?

Kemudian, suara pintu terbuka menampilkan dua orang pria dengan wajah garang. Mereka membawa rokok dan sebotol minuman—yang Reta tidak tahu itu apa—sembari mendekat ke arah Reta.

Reta memejamkan mata. Dia berharap semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya. Pun dia juga berdoa semoga seseorang, siapa pun itu, menyelematkan dirinya dari sini.

"Anak cantik. Pasti laku banyak kalau dijual," celetuk salah seorang pria itu. Dia memakai baju serba hitam. Tampak menyeramkan di mata Areta.

Akan tetapi, tunggu. Dijual? Siapa yang dijual? Dirinya dan Gaby? Sebisa mungkin Reta menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu. Dia masih ingin membuat bangga kedua orang tuanya supaya bisa memandangnya sebagai anak. Reta ingin berteriak sekarang, tetapi kain yang menyimpan di mulut menghalanginya.

"Tapi kasihan juga kalau dijual, gimana kalau kita peras orang terdekatnya?" tanya pria yang berbaju cokelat dengan rantai yang melingkar di lehernya. "Boleh. Lebih aman juga," balas satunya. Mereka lantas tertawa.

Di sekolah, ada Aran yang tengah kebingungan mencari seseorang. Dia menyuruh Gaby menunggu di depan kelas, tetapi sekarang ke mana perginya gadis itu? Sudah satu sekolah Aran mencari, hasilnya tetap tidak ada. Aran juga mencoba menelepon kekasih barunya, lagi-lagi hasilnya nol. Tidak ada jawaban.

Akhirnya, dia memutuskan untuk memeriksa langsung ke rumah Gaby. Dia mencoba berpikir positif. Barangkali Gaby sudah dijemput ayahnya.

Namun, ketika dia sampai di parkiran. Secarik kertas tertempel di jok motor Aran. Kertas bertuliskan satu kalimat, yang membuat jantung Aran berdetak tak karuan. Tangannya gemetar. Siapa ini?

"Shit! Siapa yang ngasih ginian?" Aran membuang kertas itu ke sembarang arah. Dia memakai helm-nya, bersiap menuju tempat yang dimaksud oleh si penulis surat.

"Ngasih apa, Ran?" Tiba-tiba Ben datang dari belakang. Aran membisu, dia masih canggung untuk berbicara dengan Ben. "Oh ya udah, sih, kalau enggak mau jawab. Gue cuma mau tanya, lo tahu di mana Reta?"

Pikiran Aran masih amburadul. Dia menghidupkan mesin motornya. "Lo tanya sama gue? Sorry, bukan urusan gue dan itu sama sekali enggak penting lagi buat gue! Cewek gue lebih penting sekarang." Setengah hati Aran sebenarnya tidak tega mengatakan hal itu. Bagaimana juga, dia tidak bisa cepat dalam melupakan Reta. Reta yang selama ini sudah bersamanya, mana mungkin tak menciptakan banyak cerita?

Ben menggeleng heran. "Cowok kaya dia harusnya enggak pantes sama Reta dari dulu," gumamnya. "Aduh, Reta di mana, ya? Kan, mau gue ajak balik bareng sekalian ambil belimbing." Ben kembali ke tujuan awalnya bertemu Aran.

Dia ingin melanjutkan mencari Reta, tetapi dirasa kakinya menginjak sesuatu, dia berhenti. Secarik kertas, yang sedikit kotor karena tadi diinjak, sekarang dia ambil. Matanya melotot. Apa ini yang dimaksud Aran?

Luka untuk Luka [END]Where stories live. Discover now