7. Ceramah Ustaz Bendul

592 65 3
                                    

Tuk ... tuk ... tuk.

Pulpen yang diketukkan di atas meja itu berbunyi beberapa kali. Kelas XI IPS 2 kosong. Seharusnya, ini jadwal mata pelajaran Ekonomi. Namun, karena guru yang mengajar sedang sakit, kelas itu hanya diberi tugas. Hanya diberi, tanpa disuruh mengumpulkan.

Oh, ayolah! Anak-anak sekarang, sebagian besar tidak mengerjakan tugas secara langsung. Apalagi cuma disuruh mengerjakan. Palingan mereka memilih berleha-leha, dan malah menjadikan tugas tersebut sebagai PR. Begitulah yang terjadi dengan kelas XI IPS 2, kelas Aran.

Ya, tidak semuanya seperti itu, sih. Ada beberapa anak yang patuh dengan perintah guru. Contohnya, siswa yang duduk di barisan depan, pojok sebelah kanan. Ben De Luca namanya. Anaknya gesrek, tetapi lumayan rajin. Jika ditanya kenapa dia selalu mengerjakan tugas, pasti jawabannya, "Seperti kata pepatah: bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Kerjain tugas dulu, terus baru celometan." Selalu dan selalu seperti itu jawabannya.

Pluk!

Tutup pulpen mengenai kepala Ben. Dia menoleh, mendapati Aran yang cengengesan. Ben menghela napas, bersiap menceramahi Aran, sahabatnya.

"Lo timbang gabut, mending ngerjain tugas, deh, Ran. Bukannya malah gangguin gue kaya gini," ucap Ben.

"Ck! Hidup lo terlalu serius, Dul. Sekali-kali santai bolehlah," jawab Aran tak peduli. Dia mengupas bungkus permen karet, lantas memakan isinya.

"Kalau santai, ntar tugas enggak kelar-kelar. Kaya tugas lo minggu lalu. Emang udah lo kerjain?" Ben bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Untuk beberapa detik, Aran tidak menanggapi. Dia masih sibuk mengunyah permen karet yang ada di dalam mulutnya. Ben tidak peduli. Sahabatnya itu ... keras kepalanya tingkat pohon beringin belakang sekolah. Duwur lan medeni, kalau kata orang Jawa. (Tinggi dan menakutkan)

"Gue belum ngerjain apa-apa. Kebanyakan tugas bikin gue males." Aran berjalan, kemudian berjongkok di samping Ben.

Ben meletakkan pulpennya, kemudian menatap intens Aran. "Gimana enggak banyak, orang lo enggak pernah ngerjain. Calon penerus perusahaan, kerjaannya males-malesan. Om Irwan menangis melihat ini, Ran. Kalau gini ca-"

Kring ....

Bel tanda istirahat berbunyi. Suatu kenikmatan bagi seluruh siswa di SMA ini.

Senyum Aran mengembang. Dia berdiri, kemudian berkata, "Ustaz Bendul, udah, ya, ceramahnya. Gue mau ke kantin. Udah bel, noh!" Setelah mengatakan hal itu, Aran pergi dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya.

"Anjir, nama gue Ben De Luca, ya, bukan Bendul!" ujarnya memperingati. Ia selalu kebakaran jenggot tiap kali Aran-orang-orang-memanggilnya dengan sapaan Bendul. Meskipun sebenarnya tidak masalah, itu julukannya sejak taman kanak-kanak yang masih berlanjut hingga bangku SMA.

"Disingkat juga tetep Bendul, mau sekeren apapun nama lo." Aran membalas sambil tersenyum mengejek.

Tampak Ben menatap kesal sahabatnya itu. Selalu saja punya seribu jawaban. Kalau seperti ini caranya, nilai Aran akan turun, dan dia bisa-bisa jadi guru privat dadakan. Oh, Ben mengusap kasar wajahnya sendiri. Dia tidak mau dan tidak akan pernah mau memiliki murid sebatu Aran, andaikata dia berkesempatan menjadi seorang guru.

Sedangkan di kantin, Aran berdiri di barisan ke-35 untuk mengantre soto ayam kesukaannya. Ya, hanya demi soto Mak Lasmi, Aran mau berdiri dengan setianya. Mak Lasmi asli orang Jawa Tengah. Soto yang beliau buat, rasanya bukan main. Itulah kenapa banyak murid yang menjadi penggemar soto Mak Lasmi, tak terkecuali Aran. Sampai-sampai, ada yang menyebut dirinya Lasmi Mania.

Luka untuk Luka [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora