11. It's Akward

439 53 6
                                    

"Belajar yang rajin, Reta. Jaga peringkatmu, jangan sampai turun. Kalau sampai itu terjadi, Papa benar-benar malu punya anak kaya kamu."

Agaknya, kalimat yang diucapkan Fernan malam itu, menghentikan aktivitas belajar Reta, dan menjadi elegi pengantar tidurnya.

Setelah papanya keluar dari kamar, Reta menutup bukunya dan membaringkan tubuhnya di kasur. Matanya memejam. Kalau dilanjut, bisa-bisa hatinya semakin terluka. Hari ini sudah cukup. Besok, dia berencana bercerita kepada Aran.

🌻🌻🌻

"Ran, kok diam aja?"

Dari menjemput Reta sampai istirahat, Aran sangat diam. Dapat Reta hitung, Aran hanya mengucap kata 'ayo' dan 'iya'. Sebenarnya, ada apa dengan kekasihnya itu?

Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Aran, Reta mengembuskan napas kesal. Niatnya hari ini ingin menumpahkan lelahnya ke Aran, tetapi Aran malah bersikap seperti itu. Kenapa setiap Reta butuh, Aran seakan menjauh?

Apa aku ada salah, ya?

Tiba-tiba, pertanyaan itu muncul di benak Reta.

"Ran, aku ada salah, ya? Maaf, kalau gitu. Tapi aku salah apa, Ran?" tanya Reta, sambil memegang lengan Aran yang duduk di sampingnya.

Lirikan sekilas dari Aran, kemudian cowok itu melanjutkan makan siangnya. Dia tak peduli dengan Reta yang menatap penuh harap.

"Aran, aku minta maaf. Aku bener-bener enggak tahu salahku apa," ujar Reta lagi. Dia menunduk. Dia kembali berpikir, apa salahnya? Apakah fatal sampai Aran mendiamkannya?

Selepas minum, Aran menoleh ke arah Reta. Dia sedikit kecewa, tetapi dia juga tak mau membuat Reta sedih. Mulai kemarin, Aran berusaha sabar. Dia berusaha mengendalikan keegoisan yang ada pada dirinya. Sulit, tetapi setelah dia pikir-pikir, ini juga demi Reta. Ya, demi Reta supaya tetap di sisinya.

Aran tidak mau Reta pergi karena sikapnya. Dia yang sering mengekang, jarang mendengarkan Reta, dan hanya memikirkan dirinya sendiri, bukan tak mungkin Reta bisa pergi karena itu. Dia akan mencoba, mencoba untuk tidak terlalu posesif. Semoga dia bisa.

"Kenapa kemarin enggak ngangkat telepon dariku, Ta?" Akhirnya, hal yang ditunggu Reta terjadi. Aran mau berbicara.

Reta mengangkat kepalanya. Ternyata, itu masalahnya. Kemarin  Reta di Panti sampai malam. Sampai rumah, tubuhnya sudah lelah ditambah dia belum belajar. Jadi, dia tidak sempat membuka ponsel.

"Maaf, kemarin aku ke Panti sampai malam, Ran. Sampai rumah aku belum belajar dan enggak sempat buka ponsel," jelas Reta. "Maaf, ya. Lain kali aku bakal ngabarin kamu, kok."

Aran tersenyum. "Anak pintar beda, ya, Ta. Kamu udah capek, tapi masih mau belajar. Kenapa enggak istirahat aja? Kan, kasihan sama tubuhmu."

Sebenarnya, Aran juga kagum dengan Reta. Reta yang tak pernah lupa belajar, Aran menyukainya. Reta orang yang pekerja keras.

Dan, untuk kali ini, Reta juga terkejut dengan sikap Aran. Dia kira, Aran akan semarah biasanya. Akan tetapi, untuk kali ini ternyata tidak. Ada apa? Namun, Reta bersyukur akan hal itu. Ini sikap yang diinginkan Reta selama ini.

Pukul 12.15 WIB, di kantin itu, Aran menyandarkan bahu Reta. Dia berbisik, "Cerita, Ta. Aku tahu kamu udah lama banget pengin berbagi ke aku, 'kan? Maaf, ya, jarang dengerin kamu."

🌻🌻🌻

Ben berhenti ketika langkahnya terasa lemah tak bertenaga. Ia lelah dan rasanya ingin memesan soto Bu Lasmi. Well, keinginan Ben dengan keadaannya sekarang sangat tidak nyambung. Di mana-mana, orang yang baru lari-lari butuhnya minum, bukan soto.

Cowok itu menarik dasi abu-abu yang tersemat di kerah seragamnya. Gerah yang kini dirasa Ben. Ia lantas memegang kedua lututnya, menopang tubuh lelahnya dengan dua tangan.

Tuk!

Ben meraba rambutnya saat merasa sesuatu jatuh di atas kepala.  Ia mendapati benda berwana kuning menempel pada telapak tangannya. Jijik, itulah yang dirasakan Ben. Ia makin jijik lagi, saat sesuatu berwarna kuning itu berjatuhan untuk kedua kalinya.

Cowok itu menoleh ke atas, tepat ketika kulit mangga mendarat menutupi mata kanannya.

"Allahuakbar!" pekik cowok itu. Ben membuang kulit mangga itu secara kasar, dan melihat Kunti jadi-jadian di atas pohon mangga milik sekolah. "Heh, kampret! Turun nggak lo! Muka ganteng gue jadi kotor," teriak Ben dari bawah.

Sedangkan, cewek yang di atas pohon hanya cekikikan. Dia masih terus memakan buah mangga yang dipetik sendiri. Dia memanjat, tak peduli meski pohon itu agak tinggi.

"Lo nyuruh turun gue? Idih, siapa lo? Enakan juga di sini," ucap Gaby, sambil mencoba meraih mangga, yang tak jauh dari tempatnya duduk di atas pohon.

Ben menggeleng-geleng. Tak habis pikir dengan ulah Gaby. "Lo itu cewek, enggak cocok kalau di atas pohon gitu. Untung, lo pinter ganti celana olahraga. Kalau eng–"

Mendengar itu, Gaby melotot. Pipinya merona. Untung dia tadi juga kepikiran ganti celana olahraga. "Kalau enggak kenapa, ha?!" balas Gaby dari atas pohon. "Otak lo mesum banget. Pantes enggak ada yang mau jadi pacar lo."

"Setan banget, lo, By! Awas aja, bentar lagi lo bakal dapat karma!" omel Ben tak terima.

Gaby cekikikan di atas pohon. Dia berdiri, di dahan yang cukup lebar. "Hilih, jones aja susah banget, sih, ngakunya? Toh, gue ngomong apa adanya. Bener, 'kan, lo jon–"

"By, hati-hati, geblek! Itu dahannya jangan buat mainan." Ben refleks berteriak, ketika Gaby berbicara sambil sedikit menggoyangkan dahan dengan kakinya. Pikir Ben, Gaby sudah tidak waras. Harusnya Gaby jaga sikaplah, ya.

"Eh, lo waktu kecil belum pernah main ginian, ya, Ndul? Seru. Lagian sok peduli ba ...."

"BY!"

Bruk!

Berhasil! Ben berhasil menyelamatkan Gaby yang hampir babak belur. Namun, posisi mereka saat ini sangat tidak nyaman dipandang mata. Ben sempat menangkap Gaby, yang sepertinya tadi tergelincir dari atas pohon. Akan tetapi, karena Ben tidak terlalu siap, akhirnya mereka jatuh berdua ke tanah. Err.

Lihatlah, sekarang mereka berdua malah diam. Meresapi tatapan keduanya. Kalau dilihat dari jarak sedekat ini, Gaby cantik juga. Itulah yang ada di pikiran Ben saat ini. "By, pacaran yuk!" celetuk Ben, benar-benar lost control dengan mulutnya. Cowok itu seperti amnesia dengan ucapannya barusan.

Gaby melotot. Detik selanjutnya, mereka tersadar akan posisinya.

Ben dan Gaby cepat-cepat bangun. Mereka berada di suasana canggung.

"Sorry, gara-gara gue, badan lo pasti sakit," ucap Gaby pelan. Malu setengah mati dia. Sikapnya yang ngeyel, kini dia kena getahnya sendiri.

"Makanya, lain kali kalau dibilangin nggak usah ngeyel." Padahal, sedep lihat muka dia. Kapan lagi, ya, 'kan?

Gaby menggaruk tengkuknya. Memandang Ben juga memikirkan ucapan cowok itu. Rasanya, kenapa Gaby merasakan ada sesuatu yang menggelitik mengingat tiga kata keramat yang diucapkan Ben padanya?

🌻🌻🌻

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]On viuen les histories. Descobreix ara