2.7

8.1K 1.4K 117
                                    

Hal terakhir yang kuingat hanyalah semua orang meneriaki namaku dan Kak Jia bergantian dengan begitu histeris sebelum akhirnya aku merasakan semua lubang di dalam tubuhku terisi oleh air dan membuat duniaku seakan-akan sunyi. Aku tenggelam ... dengan Kak Jia yang nggak melepaskan tanganku sama sekali. Sekilas, aku melihat raut wajahnya yang begitu sedih dengan sebuah gerakan bibir yang mengatakan sesuatu, tapi aku tak dapat menangkap apa yang diucapkannya sebelum kurasakan tubuhku didekap olehnya, membuatku mendekapnya kembali.

Eonnie ... sejak kapan kita jadi begini?

Setelahnya aku seakan terbangun di dunia lain dengan Kak Jia yang tak ada didalam dekapanku lagi, namun aku disuguhkan pemandangan yang tampak begitu asing bagiku, tentang sepasang gadis kecil yang berwajah mirip, dimana yang satunya menjadi tameng untuk yang lainnya. Apa itu aku dan Kak Jia?

"Pergi kalian, anak nakal! Jangan ganggu adikku!"

"Hei, adikmu saja yang cengeng!"

Si gadis kecil dengan berani menarik rambut anak laki-laki dihadapannya. "Awas saja kamu berani menganggu Jihan! Dasar anak nakal!!"

"Itu eonnie?" ujarku pada diriku sendiri. Sejak kapan aku punya memori ini? Bukankah dia anak nakal saat kecil dulu?

Kemudian aku diajak melihat bagaimana aku dan Kak Jia tumbuh bersama tanpa kekurangan apapun. Kami selalu saling menyayangi dan saling berbagi terhadap apapun. Kak Jia selalu mengalah untukku dan aku yang selalu menempel padanya. Kami nggak terpisahkan. Tapi sejak kapan aku melalui hari-hari ini bersamanya? Padahal dia hanya memedulikan dirinya sendiri dan merampas kasih sayang Ibu untuknya sendiri?

"Kamu!" maki Ayah pada Ibu. "Kamu cuma bisa pergi main bersama teman-temanmu dan nggak bisa mengurusi anak-anak dengan baik! Aku! AKU YANG BEKERJA MATI-MATIAN DAN KAMU MENGHABISKANNYA DI MEJA JUDI?!! KAMU GILA?!!"

Aku berbalik dan melihat Ayah dan Ibu yang berteriak satu sama lain dengan saling menarik diriku dan Kak Jia ketika kami berdua masih bersikeras untuk tetap berusaha menggapai tangan satu sama lain. Aku memberontak, begitu juga dengan Kak Jia, tapi tarikan Ayah dan Ibu semakin kuat sehingga kami kesulitan menggapai tangan satu sama lain.

"Lalu bagaimana denganmu?!!!" maki Ibu kembali. "Bagaimana kamu jelaskan soal kamu yang hanya mementingkan pekerjaan dan melupakan keluargamu?!!"

"CERAI! AKU MAU CERAI!!" teriak Ayah. "Akan kubawa Jia dan Jihan! Berikan dia padaku!" ujar Ayah yang bersikeras menarik Kak Jia dari Ibu yang bersikeras memertahankannya hingga keduanya saling dorong mendorong, sementara aku hanya bisa menangis tanpa berbuat apa-apa, berbeda dengan Kak Jia yang berusaha menghentikan keduanya dan berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Ibu hanya untuk meraihku.

"Apa ini? Kapan aku mengalami hal ini?" tanyaku pada diriku sendiri.

"Lepaskan Jia!" teriak Ayah.

"Kamulah yang harusnya lepasin Jihan! Aku Ibu mereka! Aku yang berhak atas mereka!"

"Memangnya kamu bisa apa dengan hutangmu yang membludak itu?!! Kamu akan menjual putri-putriku?!!"

"MEREKA PUTRI-PUTRIKU!!"

Mereka terus saling mendorong hingga Ayah tak sengaja melepaskan genggaman tangannya padaku dan membuat Ibu menarikku ke sisinya, Ayah yang nggak terima segera menarikku kembali sementara Ibu memertahankanku hingga aku justru terlempar hingga membentur ujung meja dengan sebuah vas yang jatuh tepat diatas kepalaku.

Aku menutup mulutku ketika aku melihat hal itu. Hal ini pernah terjadi dan aku nggak mengingatnya? Nggak mungkin, pasti ada yang salah. Sesuatu ... ada sesuatu yang hilang...

"Putri anda akan baik-baik saja, tapi karena benturan di kepalanya, dia bisa mengalami amnesia ringan. Jadi mohon untuk memberinya perhatian lebih."

Aku memandangi bagaimana frustasinya Ayah ketika mendengar hal itu dan meneriaki Ibu, menyalahkannya atas tindakannya yang nggak melepasku. Ibu nggak tinggal diam dan meneriaki Ayah kembali, sementara Kak Jia terus menangisi keadaanku. Dan setelah menungguku terbangun dari tidur panjangku, Ayah dan Ibu mulai membaik, keduanya mulai jarang bertengkar dan merawatku dengan baik. Hal itu membuatku ingat jika dulu saat kecil aku mengalami kecelakaan, tapi Ayah dan Ibu hanya bilang jika aku hampir tertabrak mobil karena tidak hati-hati menyebrang dan menjadikan Kak Jia sasaran sebagai alasan hal itu terjadi karena lalai menjagaku.

Jadi bukan hanya Kak Jia saja ... tapi ingatanku juga salah?

"Jihan, kamu nggak usah khawatir. Eonnie akan jadi anak nakal dan membuat Ayah juga Ibu menjadi lebih memerhatikanmu. Gapapa, kamu lebih butuh itu daripada eonnie," ujar Kak Jia ketika aku tertidur sementara dia menjagaku dengan menggenggam erat tanganku sambil tersenyum.

Dan ingatanku dimulai darisini, tentang bagaimana Kak Jia yang tumbuh menjadi pembangkang, Ibu yang selalu membelanya, Ayah yang terus mendidiknya dengan keras dan hanya mencurahkan kasih sayangnya padaku atas tindakan Ibu yang lebih memusatkan perhatiannya pada Kak Jia.

"Bukannya udah cukup semua yang kuberikan padamu?!" teriak Kak Jia padaku.

"Eonnie, apaan sih?! Bisa nggak berhenti berteriak padaku! Eonnie udah dapat Ibu, terus kenapa mau Ayah juga?! Aku gimana?!!!"

"Gimana?! Kamu masih tanya gimana!!! Aku jadi begini karena kamu! Untuk kamu! Tapi kenapa Ayah terus saja memarahiku?! Memang apa bagusnya terus dibandingkan denganmu, Yoon Jihannnn?!!!! AHHHHH!!!!"

Aku menutup mulutku dan terisak. Aku ingat bagaimana aku bertengkar dengan Kak Jia hingga menghancurkan seisi kamar kami. Lagi-lagi, Ayah membelaku dan memarahi Kak Jia, sementara Ibu sebaliknya. Kami saling iri terhadap apa yang kami punya, padahal kami bisa saja berbagi dan bicara pelan-pelan.

Selama ini ... aku yang salah paham? Selama ini aku yang egois dan hanya menyalahkan Kak Jia atas semua hal tak adil yang aku lalui? Aku...? Atau sebenarnya kami yang sama-sama egois karena berusaha menjadi yang paling diperhatikan?

"Eonnie .... eonnie...." aku menangis sambil terus memanggilnya hingga aku mulai merasakan tubuhku meringan dan sebuah cahaya menyilaukan yang membutakan penglihatanku.

"Jihan?!!"

Samar-samar aku mendengar suara Mingyu, kemudian disusul dengan suara Ibu dan Ayah, hingga akhirnya aku berhasil membuka mataku dan melihat dimana aku berada sekarang. Rumah sakit.

Mingyu menggenggam tanganku dengan kuat dan terus bertanya bagaimana keadaanku, apa yang kurasakan, dan aku hanya mengangguk lemah, berusaha mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Kemudian dokter datang dan memeriksa kondisiku hingga dirinya mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan diperbolehkan pulang setelah menginap beberapa hari lagi.

"....A ... yah?" ujarku.

"Iya," ujar Ayah menggenggam tanganku. "Ayah disini, Ayah disini, Jihan."

"...Maaf...."

"Kenapa kamu minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa, kamu nggak salah."

"...Maaf karena membuatmu ... harus terus merasa bersalah karena membuatku celaka dulu... Ibu juga ... maaf karena sudah salah paham selama ini."

Ayah dan Ibu tampak kaget akan apa yang aku katakan.

"Jihan, kamu ingat? Saat kecil kamu...." Ibu tak melanjutkan kata-katanya dan aku mengangguk.

"Tapi eonnie ... dia jadi anak nakal ... untuk membuat kalian lebih memerhatikanku ... dia nggak nakal..."

"Ibu tau, Ibu tau," ujar Ibu yang menangis entah untuk keberapa kalinya. "Maafkan Ibu, Jihan, maafkan Ibu."

"Maafkan Ayah juga, Nak! Maafkan Ayah," ujar Ayah.

Aku hanya mengangguk lemah dan melemparkan tatapanku pada Mingyu, aku tersenyum padanya, begitu juga dengan dirinya.

"Eonnie dimana? Aku mau bertemu dengannya," ujarku sambil berusaha untuk duduk.

Mingyu memelukku. "Dengarkan aku baik-baik dan berusahalah untuk tenang."

"Kenapa?"

"...Jia meninggal. Maaf, Jihan..."

-tbc-

Daddyable | Kim MingyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang