2.8

9.3K 1.2K 150
                                    

Hari ini, hujan turun seharian, seakan-akam menemani proses pemakaman Kak Jia yang meninggalkan luka terdalam dihati orang-orang yang dekat dengannya. Aku terus menolak percaya bahwa Kak Jia telah meninggal, tapi foto yang terpajang dimeja penghormatan adalah benar adanya.

Kak Jia meninggal karena terlalu banyak air yang masuk ke dalam paru-parunya. Sulit untuk menyelamatkannya ataupun diriku setiba di rumah sakit, kondisi kami sama-sama kritis. Mungkin jika kondisi kami harus dibandingkan, sepertinya Kak Jia sama sekali nggak berkeinginan hidup daripada aku. Dia memilih pergi.

Mingyu merangkul tubuhku. "Ingin keluar?"

"Nggak."

"Kita keluar saja, kamu butuh menghirup udara segar," ujarnya dan memapahku keluar dari rumah duka.

Kaki hanya duduk ditangga diluar rumah duka, Mingyu diam sambil mengenggam tanganku, sementara aku hanya menengadahkan kepalaku menatap langit mendung yang sepertinya akan hujan lagi.

"Maaf."

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku ingin memilihmu tapi sepertinya itu bukan pilihan yang baik."

Aku tersenyum tipis. "Terus mau milih eonnie?"

Mingyu terkekeh. "Nggak sih," katanya sambil meremas lembut tanganku. "Jihan."

"Hm?"

"Ayo bahagia."

"Apa?"

"Bersamaku," ujarnya sambil menengok padaku, "ayo bahagia bersamaku. Untuk dirimu, untuk diriku, untuk anak-anak, untuk kita, dan untuk Jia."

Aku tersenyum kearahnya kemudian meletakkan kepalaku kebahunya. "Gyu, aku benar-benar ... merasa bersalah."

"Aku juga," katanya dengan kepalanya yang ikut ditumpukan dengan kepalaku, "tapi kita nggak bisa terus merasa bersalah padanya kan? Kita harus hidup, Jihan."

"Kamu tau apa yang ingin kukatakan pada eonnie ketika aku sadar waktu itu?"

"Apa?"

"...Terima kasih karena sudah menjagaku dan membuatku diperlakukan dengan baik."

"Maksudmu soal ingatanmu saat koma?"

Aku mengangguk, aku menceritakan pada semua orang soal ingatanku saat koma itu. Ingatan yang hilang itu menjadi alasan kenapa Ibu lebih menyayangi Kak Jia dan Ayah lebih menyayangiku. Mereka hanya berusaha adil dan memberikan perhatian secara penuh, yang satunya untuk Kak Jia dan yang satunya untukku.

Mereka tak salah, sungguh.

Tapi aku dan Kak Jia lah yang memang merasa itu tak adil untuk kami berdua, saling mengirikan apa yang nggak kami miliki tanpa tau apa maksud Ayah dan Ibu melakukan itu semua.

"Hayooonnnnnn!"

Aku menengok dan mendapati Hoshi dengan setelan hitamnya tengah mengatur nafasnya yang tak beraturan. Aku berdiri dan mendekatinya hingga kedua bahuku dicengkram olehnya dan tubuhku diputar-putar olehnya.

"Apa sih?!" ujarku kesal dan melepaskan diri dari cengkraman Hoshi.

"Heh bodoh! Aku suruh kamu nyelesaiin semuanya kenapa malah nyebur ke sungai?!! Memangnya kamu anak Poseidon? Bisa mengendalikan air? Kamu kan nggak bisa melakukan gaya renang lain, selain gaya batu!"

Anak ini mengkhawatirkanku atau hanya ingin menghinaku sih?

"Aku gapapa."

"BENERAN GAPAPA????"

"Berisik tau," ujar Mingyu menjitak kepala Hoshi, "sudah beri penghormatan belum?"

"Sudah," ujar Hoshi sambil mendengus dan mengusap kepalanya yang kena jitak Mingyu. "Terus rencanamu kedepannya apa?"

Daddyable | Kim MingyuWhere stories live. Discover now