11. Selimut Teman

974 229 68
                                    

Renjun masih menekuk kedua alisnya, ia tak paham dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu.

"Emang Teh Sakha udah jadian sama salah satu dari kalian?"

Lelaki itu begitu polos menanyakan hal tersebut, membuat Jaemin sedikit terkekeh sebelum akhirnya menggelengkan kepala, "ya bukan." Tekan lelaki itu.

Lagi, Renjun hanya menyipitkan kedua matanya seraya berpikir. Ia merasa mungkin kepalanya hari ini terlalu dipaksakan bekerja.

"Oh," ia bergumam seraya melebarkan mata. "Maksud lo Jeno masih suka Teh Sakha?" Tebakkannya membuat Jaemin menepuk keras tangan.

Melihat reaksi Jaemin, Renjun hanya tersenyum tipis. Rupanya Jeno masih tidak berubah; pikirnya.

"Kalau itu Jeno orangnya, itu lebih baik daripada orang yang enggak gue kenal. " Renjun melanjutkan jawabannya. Terjebak dalam bayang lelaki itu yang kembali terputar memori-memori indah saat ia bersama wanita tersebut termasuk dengan Jeno, temannya.

Jaemin terdiam dengan jawaban temannya ini, begitupula Renjun yang sama diam saking hanyutnya dalam kenangan sendiri.

Lagi, lelaki itu berdeham menatap jari jemarinya sendiri. Disudut matanya ia masih melihat bayangan lelaki tinggi dengan pakaian khas prajurit eropa.

"Setidaknya begitu," cicitnya tak terlalu terdengar oleh Jaemin.

-o-

Sekantung plastik berisikan makanan di taruh begitu saja diatas meja oleh lelaki bernama Lee Jeno ini. Mata tajamnya menatap gadis yang terdiam lesu menatap plastik itu tanpa nafsu. Jengah, Jeno mengembuskan napasnya seraya mengacak asal rambutnya itu.

Sudah dua hari sejak kejadian Iva menangis dengan melakukan self harmnya itu, Jeno kini dengan rutin mengunjungi Iva setiap pagi dan sore. Baginya, gadis itu tidak dalam kondisi yang baik untuk keluar rumah.

"Coba mana tangan lo?" Tanya Jeno seraya duduk dihadapan Iva.

Netra bulat gadis itu menatap lesu sang lelaki, namun dengan pelan ia menuruti perkataanya dan mengulurkan kedua tanganya pada Jeno. Melihat tangan putih itu penuh dengan luka dan coretan, Jeno meraih sling bagnya dan mengambil beberapa alat untuk menutupi luka gores itu.

Tangannya cukup cekatan untuk seukuran mahasiswa kedokteran. Dengan telaten ia mengusap pelan cairan cokelat itu disekitar luka sebelum akhirnya membalut tangan kurus itu dengan kassa. "Jangan digaruk," katanya mewanti sang pasien.

"Sekarang lo nggak bisa cutting lagi, udah gue tutup pake perban." Ia menatap mata gadis itu, sebelum menekuk bibirnya dan sesaat meraih lagi tas kesayangannya. "Jadi kalo 'gatel' pake spidol aja gambar klover." Usulnya seraya menyerahkan spidol itu ketangan sang gadis.

Iva yang masih terdiam hanya menatap kosong Jeno. Bibir pucat pasinya sangat menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja.

Jeno menelisik sesaat kondisi Iva sebelum akhirnya atensinya terdistraksi oleh suara parau sang gadis.

"Jen."

"Hm?"

"Gue capek."

Sesaat Jeno terdiam. Beberapa hari ini memang hanya satu kata itu yang terus terucap oleh gadis ini. Meskipun si pasien meracau, sang dokter masih terlalu pemula untuk mengetahui maksudnya.

So Far Away Where stories live. Discover now