20. C(love)r

284 71 47
                                    

Kadang, jika terjadi sesuatu yang menggemparkan batin ini, kita justru tidak dapat mengingat apa yang terjadi setelahnya.

Sama seperti Iva, kini ia membuka mata perlahan, melihat sekitar dan tersadar bahwa ia berada di kamarnya. Apartemen studio yang tak terlalu besar juga tak terlalu kecil.

Kepalanya terasa pening manakala sinar mentari menyorot wajahnya melalui jendela. Ia sungguh tak ingat semalam ada apa dengan dirinya.

Iapun memutuskan meraih ponsel yang selalu ia simpan diatas nakasnya, rupanya fokusnya teralihkan pada tangannya yang kini terlihat bersih.

Tidak ada gambar daun klover ataupun coretan abstrak tak jelas, tak ada pula luka goresan baru, hanya tersisa luka lama yang mulai memudar.

Sejak kapan ia berhenti melakukannya?

Perempuan itu melihat kedua tangannya, benar-benar sepi. Rasanya aneh melihat tangannya tak seramai dulu tapi ada sedikit perasaan senang meliputi hatinya.

Ia mencoba menarik napas, mulai mengingat apa yang terjadi semalam sampai ia berakhir di atas kasur empuknya ini.

"Semalem Papa nelpon kan?" tanyanya bermonolog. Gadis itu pun meraih ponselnya dan melihat riwayat panggilan suara. "Iya, bener." lanjutnya, dan ia sedikit terkejut mana kala melihat nama Jeno berada diurutan paling atas.

"Gue manggil Jeno?" Iva menutup mulutnya dengan satu tangan. "Anjir...." gumamnya masih merasa tak percaya. Ia pun berusaha melihat riwayat percakapan antara mereka. Sungguh, tidak ada yang aneh, ia benar-benar langsung menghubungi lelaki itu tanpa aba-aba.

Iva kembali melihat kedua tangannya, "jadi ini di bersihin sama dia juga?" tanyanya sekali lagi pada dirinya. Iva tak percaya, ya sangat tak percaya dengan adanya seorang lelaki yang rela dihubungi tengah malam menjelang dini hari, terlebih hanya untuk menenangkan diri nya yang mungkin semalam sudah bagaikan kerasukan setan itu.

Perempuan itu merasakan jantung berdegup kencang, perasaan kalut dan entah seperti kembang api rasanya begitu meramaikan hatinya.

Matanya masih melirik ke sekitar ruangan, "gue harus minta maaf nggak sih?" ujarnya sebelum ia kembali menghela napas. "Ahhh.... Gak mungkin, gue terlalu malu...."

Ia memutuskan menenggelamkan wajahnya dalam dekapan tangannya, "nggak boleh baper, Va! Jeno cuma liat Sakha!"

Gadis itu berusaha menyadarkan dirinya sendiri akan perasaan kalut tak menentu ini dengan memukul kecil kepalanya.

"Sadar! Sadar! Mending lo pikirin semalem abis ngerepotin Jeno apa."

-o-

Tangan lentik itu menepuk bantal disebelah nya. Kosong. Ia mencoba menepuk lagi meski matanya masih terpejam. Benar, tak ada siapapun disebelahnya.

Perlahan mata itu terbuka, mendapati lahan kosong disamping ranjangnya. Seingatnya di sebelahnya ini adalah seseorang atau setidaknya sesuatu yang bisa ia peluk.

Perempuan itu terbangun dari posisinya, menyibak rambut panjangnya kebelakang, mencoba terbangun sebelum akhirnya merasa seakan ada sesuatu yang kosong.

Ia meraba sekujur tubuhnya, tak ada sehelai kain pun menempel di tubuh indahnya itu. Sadar apa yang terjadi semalam, ia hanya menghela napas dalam.

Ia sedikit membenci bagaimana ia selalu bisa mengingat kejadian setelah ia mabuk berat.

Gadis itu pun celingukan mencari sosok yang seharusnya ada disampingnya.

So Far Away Where stories live. Discover now