19. Phone

283 67 40
                                    

Isak tangis masih terdengar disaluran telpon itu. Suara gadis masih merintih tersedu-sedu.

"Jeno.... Tolong gue...."

Hanya itu suara yang terus menerus keluar. Sang pemegang ponsel hanya terus menatap layar ponsel yang ia genggam itu, menatap layar yang menghitung waktu panggilan masuk, detik demi detik.

Seseorang membuka pintu, membuat yang memegang ponsel pintar itu menoleh. Ia berdiri pada lelaki itu dan menyorongkan persegi panjang itu pada orang di hadapannya.

Jelas, raut lelaki di depannya bingung. Iapun mengambil kembali ponsel yang tak lain adalah miliknya itu, melihat layar sambungan masih terhubung pada kontak bernama 'Iva.'

"Halo? Dor?" ia begitu saja menempelkan pada gendang telinganya, menatap bingung pada perempuan di hadapannya, sebelum ia berubah menjadi tatapan terkejut mana kala mendengar suara isak tangis disebrang sana.

Seakan mendengar suara yang bersinar dikala gelap, Iva kembali memanggil namanya, "Jeno, Jen.... Gue...." ucapannya terpatah dan kembali tersedu.

Lelaki itu cukup khawatir. Lagi, ia menatap pada wanita di depannya. "Inhale, exhale. Pelan-pelan, ada apa, Dor?" ujar lelaki itu.

"Lo bisa kesini? Gue butuh lo."

Hanya itu jawaban Iva sebelum ia kembali menangis hingga dapat dirasakan oleh Jeno bagaimana rasa sesak nya tangisan itu. Ia menatap Sakha di depannya yang sudah menyilangkan tangan di depan dadanya.

Bingung, ia merasa tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan Sakha tapi Iva pun membutuhkan nya.

Disisi lain, Sakha hanya terus diam, wajahnya tak menunjukan apapun, entah ia merasa terganggu ataupun tidak, ia hanya menatap Jeno dengan pandangan semu sebelum akhirnya helaan napasnya begitu terdengar berat, dengan dirinya menutup pelan kedua matanya.

Dan saat itulah Jeno berlari meninggalkan dirinya seakan ia sedang mengejar waktu yang terus berdenting.

Gadis itu membuka matanya. Seperti dugaan pendengaran nya tadi, Jeno benar-benar pergi dengan membiarkan pintu apartemen miliknya terbuka lebar.

Ia berjalan hendak menutup pintu sebelum matanya saling bertemu dengan tetangga lain yang akan melewatinya. Perempuan itu tersenyum, senyum yang ramah membuat tetangga tersebut ikut tersenyum hingga akhirnya ia melewati gadis itu.

Namun bersamaan dengan dirinya yang melewati perempuan itu, senyum itupun menghilang seperkian detik menjadi sebuah tatapan ketus dan mengunci pintunya.

Di lain tempat, Jeno berlari sambil terus menahan ponselnya tepat berada di telinganya.

"Gue kesana! Lo jangan ngapa-ngapain dulu!" titahnya seraya terus berlari.

Iva di dalam sambungan telpon masih terus menangis, membuat Jeno semakin mempercepat laju nya. Jarak dari apartemen sementara Sakha dan apartemen Iva tentu jarak yang jauh untuk sekedar berlari, namun itu jarak yang terlalu kecil pula untuk menaiki transportasi umum seperti kereta atau bus yang bisa memutari setengah Singapura terlebih dahulu sebelum sampai di halte terdekat lingkungan apartemen Iva.

Jeno tak habis pikir, ia melihat satu buah taksi mengetem dipinggir jalan, membuatnya begitu saja masuk dan mendapati tatapan bingung sang supir taksi.

"Queenstown!  hurry la, Uncle!"

Bentaknya pada supir taksi itu, membuat sang supir menginjak pedal gas nya begitu saja. Ia gelisah, terlebih bagaimana sakura telpon ini masih tersambung dengan suara Iva yang terus menerus menangis.

So Far Away Where stories live. Discover now