27. Teman?

239 65 17
                                    

Cahaya masuk begitu menusuk matanya yang tertutup. Perlahan mata indah itu terbuka menatap didepannya meski samar-samar. Sang pemilik mata mengerang merasa silau, membuat orang disekitarnya menoleh.

"Sadar?" tanya suara yang familiar.

Renjun yang baru tersadar, perlahan mencoba melihat asal suara itu. Ia mendapati Jaemin sedang terduduk di ujung kasur seraya menonton tayangan televisi. "Gue lo kasih obat penenang, Jem?" tanyanya pada Jaemin yang menatap dirinya.

"Iyap, sori soalnya lo keliatan hampir lepas kendali." ujar Jaemin. Renjun menghela napas, kini kepalanya terasa pusing karena pengaruh obat penenang itu.

Jaemin yang melihat temannya kesusahan itu kini beranjak untuk berinisiatif mengambil segelas air untuknya, setelah mengambil air itu, lantas ia berjalan kearah Renjun untuk menyerahkannya secara langsung.

Renjun terdiam sesaat, lelaki itu menatap temannya dan meneguk minuman yang diberikan. Dalam diam ia terus menatap sekeliling, ditengah rasa pusing dan kebingungan karena baru tersadarnya diri, ia mencoba membiarkan kepalanya berputar dan mengingat apa yang terjadi.

Ia menangkap beberapa objek disekitarnya, dan terfokus pada Jaemin sesaat. Renjun mulai merenung, keberadaan Jaemin bukanlah alasan antara dirinya dan dia adalah teman. Renjun yakin, ada hal yang lebih dari itu yang masih disimpan Jaemin.

Jaemin tau temannya sedang merenung, lantas ia memilih kembali menonton acara televisi sebelum akhirnya Renjun bersuara, "gue inget apa yang terjadi sebelumnya." katanya, membuat Jaemin hanya mengangguk.

Lelaki itu lagi-lagi menghela napas, "mungkin akhirnya memang harus begini ya?" tanyanya. Jaemin masih terdiam dan kembali duduk disampingnya. "Dengan lo ngasih penenang, makin gue sadar kalo gue harus sehat sebelum memutuskan bersama orang lain."

Merasa lucu dengan Renjun yang tiba-tiba berbicara serius, Jaemin berdecih, "emang, makanya gue bilang juga apa, lo harus stabil dulu, Teh Sakha juga, apalagi dia butuh orang yang jadi sandaran buat dia."

Mendengar jawaban sang teman, Renjun hanya tersenyum simpul. "Lo, lo yang stabil antara gue dan Jeno."

Hening, sesaat kedua pemuda itu terdiam sebelum Haechan memasuki ruangan dengan rambut basahnya.

"Kenapa gue? Bisa aja Teh Sakha dapet yang lain." alibi Jaemin, tapi Renjun hanya menggelengkan kepalanya.

"Gue ngerasa sangat yakin, kalo lo yang cocok."

Melihat kemana arah pembicaraan kedua temannya ini, Haechan memutuskan berpura-pura tak dengar dan berjalan kearah dapur untuk sekedar menyeduh mie instan.

Renjun menunduk menatap kedua telapak tangannya, "gue nggak tau apakah Jeno sadar atau enggak. Tapi sejak dulu lo selalu menjadi sosok tengah, lo selalu ada buat Sakha meskipun sebagai teman gue. Bahkan usaha lo cari kabar dia disaat gue pasrah dengan perginya, makin ngebuat gue yakin lo orangnya." Ia terjeda sesaat, pandangannya menangkap sebuah kotak biru buludru di atas nakas sampingnya.

"Itu buat dia kan?" tanyanya menatap kotak itu. "Gue paham selama ini lo memendam juga, Jem." Renjun mencoba meraih kotak kecil itu, membukanya perlahan dan tersenyum melihat apa yang ada di dalamnya. "Kalo itu lo, gue ikhlas kok."

Jaemin terdiam mendengar penuturan Renjun, lelaki itu menggenggam kedua tangannya sendiri seraya menunduk. "Gue sendiri nggak paham, Ren." ungkapnya membuat temannya menatap. Disisi lain Haechan menjadi penguping percakapan kedua sahabat karibnya itu.

"Bukan karena gue merasa layak dibanding kalian berdua, tapi gue ngeliat dia seperti sosok yang gue cari selama ini meskipun gue nggak mau."

Renjun tersenyum simpul mendengarkan Jaemin melanjutkan ucapannya, "gue selalu memaksa diri ngeliat dia sebagai kakak, sebagai teman, sebagai orang spesial untuk kalian berdua. Gue memaksakan perasaan gue terbatas sampai situ aja, tapi rupanya ini bukan soal perasaan."

So Far Away Where stories live. Discover now