Affection! (2)

818 179 4
                                    

Rasanya dingin saat itu. Entah sudah pukul berapa, tetapi karena tak ada cahaya yang masuk menandakan waktu pasti sudah larut.

Ken merasakan suhu di lantai menusuk hingga tulangnya. Dia membuka mata, dan nyeri langsung menguasai kepala serta punggungnya. Meski kesulitan bergerak, Ken coba untuk terbangun, mulai dengan mengangkat pelan jari-jarinya. Setelah berhasil, Ken mulai menekuk siku untuk menggunakannya sebagai tumpuan.

Namun, belum bahkan mencoba dan Ken terjatuh begitu saja.

Tenaganya habis. Sekujur tubuhnya benar-benar perih. Pasrah, Ken pada akhirnya hanya terbaring di sana tanpa bisa melakukan apapun.

Selang beberapa saat terdengar baginya pintu yang berderak. Pikirannya seketika penuh. Apa itu ayah? Ken hanya bisa bergidik tanpa tahu harus melakukan apa sekarang.

Hingga sudut matanya menangkap sosok yang lebih pendek, bahkan lebih pendek darinya. Kemudian orang itu justru membopohnya.

Perlahan-lahan mereka meninggalkan garasi dan tiba di ruang tengah. Cahaya lampu akhirnya memperjelas penglihatan Ken. Ternyata itu adiknya.

"Sean ...." Anak itu tak banyak berbicara. Melainkan hanya terus membantu Ken meski dia hampir terjatuh lagi berkali-kali, terutama saat menaiki tangga. Namun, usaha tertatih tersebut membawa mereka mencapai kamar tidur.

Ken dibopoh hingga mencapai kasur. Kemudian dari kolong Sean menarik kotak obat dan juga wadah berisi air bersih.

"Kakak, bisa buka bajumu?"

Cowok itu hanya mengangguk kecil, dan mengikuti permintaan adiknya. Sean lantas terperanjat saat menemukan begitu banyak luka lebam. Sebenarnya anak itu sudah tak mampu berkata-kata hanya dari wajah kakaknya yang meninggalkan bekas darah mengerikan.

Buru-buru Sean menghilangkan keterkejutannya dan segera mengobati Ken. Menggunakan kain bersih untuk membersihkan wajah, punggung, dan dada Ken. Sesekali remaja itu meringis, tetapi dia mencoba menahan rasa perih dengan mulai berbicara.

"Bagaimana ... sekolahmu?"

Sempat Sean menghentikan tangannya, tetapi kemudian melanjutkan lagi sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tadi. "Bagus. Semester baru yang menyenangkan."

"Apa kau ...." Ken berdehem sejenak, sedikit ragu untuk bertanya lagi, tetapi sepertinya Sean tidak menyadari itu. "Apa teman-temanmu ... baik padamu?"

Sean terdiam lagi. Kemudian hanya terdengar helaan napas panjang, dan tatapan wajah yang sayu. "Bagaimana dengan kakak? Apa di sekolah baru kakak sudah punya teman?"

Mata Ken melebar sesaat mendengarnya. Dia sebenarnya juga sadar sendiri, daripada mengkhawatirkan Sean yang tidak punya teman, Ken pastinya akan lebih kesulitan.

Sean mengambil antiseptik dan juga perban untuk menutupi sisa luka di tubuh Ken, kemudian berpindah ke kepala Ken.

Namun, baru sedikit saja, Ken sontak menahan tangan Sean. Bukan karena dia tidak tahan lagi dengan rasa perihnya. "Sean, apa kau suka tinggal di sini?"

Keadaan menjadi hening. Ken segera menyadari kepala adiknya turun, dan kemudian menggeleng kecil perlahan. Ken lalu melanjutkan, "aku juga tidak suka di sini. Aku tidak bisa tinggal di sini. Ikutlah denganku, kita mencari tempat tinggal lain, mungkin di motel murah atau sebagainya. Aku bisa membayar uang sewanya."

Ken memancarkan harapan dari matanya saat menemukan Sean mengangguk dengan cepat. Sudut bibir Ken naik perlahan, dan belum sampai di situ, dia bisa tersenyum dengan lebar begitu Sean mengeluarkan sebuah topi dengan warna merah muda dari belakang tubuhnya.

Mata Ken seketika terasa penuh kembali, dan agar adiknya tak melihat dia segera menarik bahu dan memeluk anak itu erat-erat.

Hanya saja Ken tidak benar-benar bisa menyembunyikannya. Sean sudah tahu saat punggung Ken bergetar. Sean ikut menangis saat itu. Suaranya jadi patah-patah. "Aku akan melindungi kakak mulai dari sekarang."

You Just Met The Wrong PersonWhere stories live. Discover now