Let Me Get This Straight! (2)

451 111 0
                                    

Mereka sama-sama kehabisan napas. Lucy menaruh tangan di dinding kaca sembari membungkukkan tubuh, sementara Ken langsung duduk bersandar dan menekuk lutut. Cowok itu masih belum tahu mengapa Lucy menariknya hingga ke rumah kaca. "Jadi ... untuk apa membawaku kemari?"

Masih berusaha mengatur udara yang masuk, Lucy berkata, "agar kita bisa bicara ... hanya berdua."

Ken terkejut untuk sesaat. Lucy membawanya ke belakang sekolah, tempat yang sepi di waktu istirahat, untuk berbicara empat mata. Awalnya dia penasaran, lalu Ken baru teringat sore itu saat Neal menghajarnya, dan Lucy ada di sana.

"Soal apa?" Ken memastikan.

"Satu sekolah mendapatkan pesan spam." Lucy mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan pada Ken pesan yang dimaksud. Semula tak terjadi apa-apa, pikirnya tidak lebih buruk daripada penyerangan itu, hingga mata Ken sontak melebar. Mulutnya terbuka, tetapi tak mengatakan apa-apa.

"Apa itu benar?" tanya Lucy saat mengambil kembali ponselnya. Namun, Ken masih tak berbicara, dan saat kepalanya menunduk, gadis itu semakin yakin kalau pesan tersebut memang benar. "Aku ... turut berduka, Ken."

Dari mana pesan itu? Siapa yang mengirimnya? Terlebih lagi, bagaimana pengirim pesan itu tahu kalau ibu Ken tewas? Berbagai pertanyaan bergulir di dalam kepalanya, tetapi kemudian semua menjadi tidak lagi penting. Ken tahu cepat atau lambat semua orang akan mengetahuinya meski berita yang beredar tak pernah menyebutkan nama apapun.

"Ya ... ibuku tewas. Dia ... bunuh diri." Setidaknya itu yang polisi katakan, meski Ken masih sulit menerima fakta tersebut. "Dia sudah mati."

Lucy menurunkan tubuhnya dan meraih pundak Ken. "Hei, aku mengerti. Aku tahu seperti apa rasanya saat kehilangan ibu dan--"

"Kau tidak mengerti!" teriak Ken. Lucy terkejut menemukannya dengan mata yang sudah merah. "Dia mati di bak mandi, sendirian! Aku bekerja, dan ibuku menyuruhku pulang, tetapi aku malah mengabaikannya. Jadi apa kau belum sadar? Semua ini salahku! Seandainya aku di sana. Seharusnya aku ada di sana!"

Dia masih berusaha menahan diri agar tidak menangis lebih keras, dengan menyeka wajah dan menutup mata menggunakan siku. "Dia sudah pergi ...."

Namun, suasana hening itu tetap membuat isaknya terdengar dengan jelas. Mungkin jika seseorang secara kebetulan berada di lapangan sepak bola, mereka pasti akan tahu Ken di sana. Remaja itu juga berpikir Lucy sudah pergi, dan ternyata malah ikut duduk di sampingnya.

"Tiga tahun lalu, aku melihat ibuku sendiri terlindas sebuah mobil yang melaju dengan gila," kata Lucy, dan ketika berhasil menarik kembali perhatian Ken, dia melanjutkan, "tepat di hadapanku, aku menyaksikan tubuhnya hancur dan berserakan di jalanan. Darahnya yang basah menggenangi aspal dan kaca mobil, seakan dia meledak. Jadi ... aku tidak sekadar melihat ibuku tewas, aku melihatnya ... terpisah-pisah."

Ken masih belum mengatakan apapun, tetapi tatapan kosongnya telah menandakan kalau bahkan dirinya tak akan mampu membayangkan cerita Lucy barusan. "Lalu apa yang kulakukan? Hanya berdiri diam di sana, saat seharusnya aku bisa mendorong ibuku atau berteriak memintanya mundur dulu."

"Itu berbeda, ibuku bunuh diri," ucap Ken acuh tak acuh. "Aku bisa menghentikannya."

Lucy tak lagi membalas, tetapi membiarkan Ken menyadari ucapannya sendiri. Butuh beberapa detik sebelum itu terjadi. Cowok itu lalu menghela napas panjang, dan sekali lagi menyapu air matanya. "Mengapa kau mengatakan ini semua padaku?"

"Aku merasa bersalah," jawab Lucy.

"Kau salah apa?"

"Saat tur itu. Aku mengatakan kalau pertemananku dengan yang lain karena masalah orangtua." Lucy menatapnya sayu. "Aku berteman denganmu bukan karena itu, tetapi karena ... aku memang mau."

Teman. Meski sebelumnya Lucy sudah mengatakan hal yang sama—bahkan Shiro juga, tetapi kata itu selalu berhasil mengguncang Ken. Seseorang ingin menjadi temannya. Namun, setiap kata itu terucap, semua kenangan buruknya juga kembali dengan cepat.

Semua yang dulu Ken anggap sebagai teman tiba-tiba mulai berkata buruk, menjauhinya, menganggapnya seorang penjahat yang tidak pantas untuk berjalan di antara mereka, dan terakhir memukulnya hingga berdarah-darah.

"Kenapa kau mau menjadi temanku?" Ken menggigit bibirnya. "Kau bahkan tidak tahu siapa aku."

"Tapi bukankah itu artinya menjadi seorang teman? Kau akan mengenalnya lebih dekat."

Namun, itulah masalahnya. Ken sudah memikirnya jauh hari, bahkan sebelum menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Ischar High. Jika mereka akhirnya tahu siapa Ken, semuanya akan berakhir seperti dulu lagi. Lucy pasti akan menjauhinya, Shiro dan yang lain akan menghajarnya.

"Aku--" Ken tak sempat melanjutkan kalimatnya ketika Lucy tiba-tiba saja menyodorkan sesuatu. Cowok itu dibuat terkejut sekali lagi, tetapi dia tak langsung mengambil benda tersebut. Terlebih dahulu mengangkat kepalanya, dan menemukan gadis itu tersenyum lembut.

"Aku memang tidak tahu apa yang terjadi, dan jika memang aku tidak bisa mengetahuinya maka itu tidak masalah, tetapi kau tidak sendirian di sini. Kau bisa menemukan teman baru."

Ken mengerti maksud tersembunyi dari ucapan Lucy. Penyerangan Neal. Gadis itu sudah bisa menyimpulkan kalau orang-orang yang kemarin menghabisinya adalah teman-teman Ken di sekolah yang lama.

Lalu Ken akhirnya mengambil benda itu, dan memasangnya kembali di tempat seharusnya. Topi pink yang sejak kemarin menutupi rambut lebatnya. "Ya ... aku mau jadi temanmu."

Akhirnya dia bisa ikut tersenyum, seakan seluruh perasaannya yang kacau tadi sudah menguap bersama udara hangat. Lucy memang benar. Pun sejak awal ibunya sudah mengatakan kalau kehidupannya yang baru sudah di mulai. Seluruhnya mungkin sangat kacau kemarin, tetapi masih ada orang-orang yang ingin memperbaikinya.

Kini Ken tahu, Sean bukan satu-satunya yang tersisa. Masih ada orang lain.

***

Berbeda dari dua hari sebelumnya di mana badai kuat menerjang kota, malam ini Ischar lebih tenang. Dari pantulan jendela pun kilap terang terlihat dengan jelas. Sera bisa melihat itu dari tempatnya duduk.

"Baiklah kawan-kawan, sampai jumpa besok."

"Ya, sampai jumpa besok," balas Sera, dan panggilan video rutinnya berakhir. Sudah tengah malam, tadi pun hanya tersisa dirinya, Shiro, dan Andy. Sebenarnya panggilan itu akan berlangsung lebih lama lagi kalau saja Cyan tiba-tiba meminta Shiro untuk segera tidur. Sementara Andy yang memang lebih pendiam pastinya tidak akan tahu harus membahas apa bersama Sera.

Masih mengenakan piyama dan headphone, Sera turun ke bawah dengan mulut terbuka lebar. Begitu tiba di ujung tangga, televisi masih menyala. Seorang pria terduduk di sana menyaksikan acara malam favoritnya.

Pria itu sontak berbalik saat tahu Sera berdiri di sana. "Kenapa belum tidur?"

"Tidak usah khawatir, ayah. Besok hari libur," singkap Sera dan terus menuju meja makan. Mengambil daging yang sudah dingin untuk dipanaskan kembali ke dalam oven.

"Aku tidak peduli, kenapa kau belum tidur?" tanya kembali pria itu.

"Hanya mengobrol dengan temanku." Menunggu makanannya hangat kembali, Sera menyalakan lampu dan bergabung bersama ayahnya di sofa.

Acara malam di televisi berganti menjadi iklan, dan karena tidak ingin menunggu, pria itu memindahkan ke saluran lain, dan menemukan siaran berita. Mereka berdua bukan penikmat saluran tersebut, tetapi keduanya juga segera menyadari kalau yang ditayangkan adalah siaran darurat.

Lebih daripada itu, berita menampilkan kota Ischar.

"... Korban diperkirakan sudah tewas selama dua hari di dalam mobilnya. Badai yang sempat mengguyur kota menyebabkan lumpur menjadi naik dan menutupi hampir seluruh mobil yang sudah terbalik itu. Saksi mata menyatakan melihat ban mobil di bawah jurang dan--"

Pria itu segera memindahkan siaran, kembali pada jeda pariwara di saluran sebelumnya. Bukan karena dia memang sangat membenci berita, tetapi yang tadi benar-benar membuatnya gemetar.

"Itu ... menghilangkan selera makanku sekarang," ujar Sera sama terkejutnya. "Aku langsung tidur saja. Selamat malam, Yah."

You Just Met The Wrong PersonWhere stories live. Discover now