Pink! (4)

566 142 3
                                    

Jalanan lebih sepi daripada biasanya, walau sinar jingga di langit juga sudah lebih menghitam, tetapi Ischar adalah tempat yang padat. Waktu seperti ini lah seharusnya keadaan jadi ramai. Ken merasa ini tentang sesuatu yang sedang terjadi di kota, entah apapun itu, tetapi orang-orang--terutama murid sekolah--diminta untuk segera pulang bahkan saat pagi hari.

Ken memilih untuk berjalan kaki, tetapi sepanjang langkahnya menapak hanya ada kegelisahan. Ken belum mau pulang ke rumahnya, dia tidak ingin pulang ke rumah. Empat hari lalu Sean menjelaskan kalau ayahnya pergi untuk urusan pekerjaan yang tidak mereka ketahui, dan meski begitu Ken masih melewati setiap jam dalam ketakutan.

Lalu hari ini adiknya mengirimkan pesan. Ayah sudah pulang. Ken hanya bisa bergidik saat mengetahui hal tersebut.

"Aku harus ke mana sekarang?" gumamnya sembari menghela napas.

Baru saja akan menyimpan ponselnya dan benda itu bergetar lagi. Pesan lainnya, berpikir itu dari Sean, tetapi kali ini dari nomor yang tidak tersimpan.

"Ken, apa kau sibuk malam ini?" Jelas dari pesan tersebut, pengirimnya mengenal Ken. Baru saja dia akan bertanya siapa dan pesan berikutnya masuk. "Ini aku, Arthur. Nomor baru. Kami kewalahan di sini, bung, butuh banyak tangan. Kalau misalnya tidak sibuk bisa kau kemari?"

Ken bernapas lega, benar-benar lega. Seakan angin segar menerpa wajahnya. Tentu saja dia menawari tawaran itu, karena itu artinya dia tidak perlu pulang ke rumah.

"Ya, segera ke sana," balas Ken dan menyimpan ponselnya kembali. Sudut bibirnya naik dengan segera.

Namun, seakan kebahagiaan memang tidak berpihak padanya, dalam beberapa detik saja senyuman itu turun. Bahkan berubah panik begitu menemukan ada dua laki-laki tengah berjalan ke arahnya.

Ken tidak akan bersikap seperti itu kecuali mengenal mereka. Dia tahu akan terjadi sesuatu yang salah kalau harus meladeni mereka. Jadi dengan cepat Ken berbalik, dan betapa terkejutnya saat menemukan ada tiga orang lain yang juga mendekat. Salah satunya bahkan membawa balok kayu.

"Mau ke suatu tempat?" Laki-laki yang membawa balok kayu bertanya. Ken memutar kepalanya untuk melihat situasi. Tak ada jalan keluar, dia terkepung. Dirinya dalam bahaya.

"Apa yang kau mau, Neal?" balas Ken geram, tetapi orang-orang itu tak bergeming sedikitpun.

Neal tak menjawab, justru memberikan ancaman dengan memainkan balok kayu di tangannya, yang membuat Ken segera meneguk ludah. Ken mencoba mundur, tetapi punggungnya sudah tepat berada di tepi dinding bata.

"Sudah pernah kubilang, aku akan terus menghajarmu kalau kulihat wajah menjijikkanmu itu." Neal mengangkat baloknya, dan mengarahkan ujung tumpulnya ke depan wajah Ken. "Kau mungkin sudah pindah sekolah—dan itu bagus, tetapi beberapa hari yang lalu kau muncul entah dari mana, bertemu dengan Gina dan membuatnya menangis."

"Jika kau berpikir sesuatu yang aneh, kau salah!" tegas Ken tidak terima.

"Kau tidak punya hak untuk membela dirimu di sini, dasar penjahat. Sekarang saatnya menghabisimu!" Wajah Neal berubah tegang, gigi-giginya bergemeletuk semakin dia mendekati Ken.

Ini semakin buruk. Ken tak tahan lagi, dia sontak menurunkan tubuh dan berlari coba menerobos mereka. Namun, sesuai dugaan tubuhnya dengan mudah ditahan lalu didorong kembali ke belakang. Saat mengangkat kepala, balok kayu itu sudah berayun tepat ke pipinya.

Tubuhnya terhempas ke dinding, membuatnya terhuyung dan topinya terlepas. Ken menjerit dengan segera, hal itu disambut gelak tawa yang nyaring. Rasanya memang sangat sakit, tetapi Ken tidak ingin tinggal diam. Dia bergegas bangkit dan mengerahkan bogem mentahnya ke pipi kanan Neal. Serangan itu membuatnya terhuyung.

You Just Met The Wrong PersonWhere stories live. Discover now