Them!

353 105 0
                                    

Laki-laki itu segera menekan bel saat tiba, dalam beberapa detik gadis seumurannya membuka pintu. "Aku kemari secepat yang kubisa."

"Neal, terima kasih," gadis itu lantas memeluknya, dan mempersilahkan Neal masuk.

"Gina, apa kau serius?" tanya Neal, yang beberapa menit sebelumnya dihubungi, dan Gina mengatakan hal paling gila yang akan dia lakukan.

"Ayahku sudah sepakat."

"Lalu di mana dia?" Neal yang sangsi melirik ke seisi rumah, berusaha mencari di mana ayah Gina, tetapi gadis itu segera menaruh tangan di kedua punggung Neal memaksanya bertatapan.

"Neal ... aku harus melakukannya."

"Tapi ...." Neal mengernyit, kesulitan mencari kata yang tepat. "Aku tahu kau adalah korban, tetapi janin di dalam perutmu pantas untuk hidup."

"Apa kau di sini untuk mendukungku atau mempertanyakannya? Aku tidak akan pernah sanggup membesarkan anak ini jika dia lahir!"

"Tapi ...." Neal geram, sekaligus tak menyangka Gina akan berbuat sejauh ini. Mereka sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum Ibu Gina meninggal dunia. Kedua tangan remaja itu mengepal dengan erat, memikirkan seluruh masalah yang Gina harus hadapi karena Topi Pink itu. Seharusnya dia yang bertanggung jawab, tetapi anak itu malah melanjutkan hidup seakan masalahnya sudah selesai.

Meski berat untuk menyepakati, tetapi Neal pada akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah ... jika itu pilihanmu."

Dari meja di dekatnya, Gina mengambil gelas air dan botol obat berisi pil-pil kecil tanpa label. Neal mempertanyakan darimana dia bisa mendapatkan obat tersebut yang tentu saja tak akan dijual di apotek umum di kota, tetapi segera menyimpulkan kalau mungkin ayahnya lah yang membeli, yang artinya pria itu benar-benar mengetahui rencana aborsi Gina.

Setelah menatap cukup lama pil di tangannya, Gina segera menelan obat tersebut, dan menghabiskan air di gelas.

***

Kali pertama Ken mendapatkan hingga seratus panggilan tak terjawab, dan ratusan pesan lain yang tak ingin dia ketahui isinya. Sejak kemarin malam teman-temannya berusaha untuk menghubungi, dan Ken tentu saja tak akan membalas mereka meski tangannya gatal sekalipun.

Justru Ken mematikan ponselnya saat tamu yang telah dia tunggu-tunggu tiba pagi itu. Muncul tanpa setelan jaket tebal dan kacamata hitamnya, melainkan kemeja biru dan celana hitam panjang. Rambut kuningnya nampak semakin cerah, membuat Ken tersadar kalau Nen ternyata mewarnainya.

Tak ada percakapan yang terjadi dan Ken langsung ikut masuk ke dalam mobil. Derek putih usang kebanggan Nen yang mungkin ditemukannya di pasar loak.

Ken tahu perjalanan kali ini akan sangat panjang, dan memang itu yang terjadi. Namun, rutenya terasa tak asing. Beberapa kali Ken memperhatikan keluar jendela untuk memastikan dirinya tak salah, melihat hiasan-hiasan jalan ataupun gedung-gedung di luar sana yang telah lewat di ingatannya.

Hingga mobil tersebut tiba, dan Ken hanya bisa terperanjat. "Ini tempatnya?"

"Memangnya apa yang kau harapkan? Gedung besar dengan pilar putih?"

Masih dalam keterkejutan, Ken menyusul masuk ke tempat tersebut yang sama sekali tak dikunci meski ada tulisan tutup di pintunya. Mereka terus ke dalam hingga mencapai dapur. Ken memperhatikan Nen membuka gudang kecil berisi alat-alat kebersihan, tetapi tangannya meraba-raba dinding yang tertutup celemek.

Sebelum kemudian salah satu dinding di gudang itu terbelah dari dua, dan Ken segera mendekat untuk menemukan ada sebuah lift rahasia di sana.

"Kita hampir sampai," kata Nen, dan mengajaknya masuk.

You Just Met The Wrong PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang