Let Me Get This Straight!

494 116 0
                                    

Ken meraih tangan adiknya. Terasa sangat lemah dan dingin. Sean belum sadarkan diri, Dokter Leo mengatakan anak itu beruntung jika bisa terbangun dalam dua bulan ke depan. Sebelumnya dokter berkacamata tersebut bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, dan tentu saja Ken tak dapat berkata jujur. Lagi pula ayahnya sudah tewas, semua itu tidak penting lagi.

"Semuanya sudah berakhir. Semua akan baik-baik saja."

Pandangannya kosong di samping brankar. Kamar ICU tak punya jendela, lampu juga tak dinyalakan. Satu-satunya penerangan adalah peralatan dengan monitor yang menunjukkan garis naik turun, atau pintu yang terbuka tak lama kemudian.

Ken melepas genggamannya, dan berbalik untuk menemukan Dokter Leo. Ini ketiga kalinya pria muda itu masuk. Sepertinya dia dokter termuda di rumah sakit.

"Kau masih di sini?" Ken hanya diam, merasa pertanyaan itu tak perlu dijawab.

Dokter Leo menekan kacamatanya saat akan memeriksa Sean. "Kau kelihatan lelah. Apa orangtuamu belum bisa datang?"

Remaja itu menghela napas. "Cuaca buruk, penerbangan mereka ditunda." Entah sampai kapan Dokter Leo akan menyadari kalau Ken berbohong. Pria itu juga setengah mendengar, lebih fokus memeriksa kondisi pasiennya.

"Kalau begitu, mengenai perkembangan selanjutnya akan kusampaikan padamu saja. Saat ini Sean dalam kondisi ...."

Sisa penjelasan Dokter Leo melebur di kepalanya. Ken hanya membayangkan mayat ibunya yang terendam di dalam bak mandi, atau tubuh ayahnya dengan luka tusuk dan tertimbun lumpur. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar, kedua tangannya mengepal erat. Ken lagi-lagi tak berada di sekitarnya, tetapi dalam dunianya sendiri yang penuh teriakan. Membuatnya tak menyadari saat Dokter Leo sudah pergi, atau denyut nadi adiknya yang semakin melemah.

***

Shiro muncul di lorong dengan hidung memerah, mata yang menyipit sesekali untuk mencegah cahaya masuk terlalu banyak, serta langkah yang lemas. Sementara kakak kembarnya sibuk menatap ponsel.

"Hachooo! Astaga, ini sangat mengganggu," keluh Shiro mengusap hidungnya.

"Sudah kuperingatkan untuk jangan keluar. Lihatlah, kau demam," kata Cyan tanpa menatap adiknya.

"Aku hanya demam kemarin, tapi flu-nya bertahan sampai hari ini."

"Berhenti mengeluh. Sudah kubilang akan terjadi badai dan kau tidak mendengarku," sergah Cyan terus menerus, membuat Shiro menyerah dan akhirnya terdiam.

Namun, tak lama cowok itu malah tersenyum, meski tak ada yang melihatnya. Dia membatin, "kau salah, Cyan. Aku memang harus keluar malam itu."

Shiro tak akan melupakannya. Perjalanan untuk membeli makan malam berubah menjadi penyelamatan seorang teman yang terluka parah. Entah apa yang akan terjadi kalau dia tidak ada di sana, tetapi yang jelas Shiro merasa bangga dengan perbuatannya.

"Hoi!" Shiro tersadar dari lamunan saat Cyan menepuk pundaknya. "Kenapa kau masih mengikutiku? Kelasmu bukan di sini."

Shiro sontak membelalak, sementara murid lain yang menyaksikannya terkekeh untuk beberapa saat. Panik dan malu, Shiro langsung berlari keluar.

"Ada apa dengannya?" Sera yang ada di kelas itu menyambut Cyan setelah duduk.

"Dia sakit, tapi ayahku memaksanya masuk sekolah."

Sementara Shiro baru memelankan langkah setelah tiba di kelas kimianya.

"Selamat pagi," sapanya dengan napas pendek. Shiro segera mengambil tempat, dan duduk bersama penciumannya yang menyiksa, menunggu kelas di mulai.

You Just Met The Wrong PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang