Chapter 11

661 127 32
                                    

Pasukan khusus kerajaan kelihatan sibuk. Apalagi setelah mengetahui banyak kejadian aneh semenjak sang iblis biru datang. Mereka terus-menerus bergantian menjaga desa untuk menghindari kemungkinan penyerangan iblis liar.

Meski iblis liar sendiri tidak pernah lagi datang karena semuanya selalu ditemukan ketika sudah menjadi bangkai dan tercabik-cabik. Petinggi mengatakan kemungkinan bahwa Taufan juga dikejar oleh kaumnya sendiri. Meski begitu, mereka tetap menjadikannya sebagai buronan kerajaan.

Sebuah harga tinggi dipasang untuk kepalanya. Dia hidup atau mati, bayaran 500 juta kriel mereka dapatkan. Namun tentu saja, ini hanya berlaku untuk pasukan khusus. Karena beresiko tinggi jika para pemuda desa ikutan mengejarnya. Bisa jadi angka kematian akan memuncak seiring iblis itu tidak bisa didapatkan.

Seorang pemuda kecil berambut pirang dan bermata biru tengah duduk santai di dalam tenda miliknya.

"Kau yakin mereka menyembunyikan sesuatu, Ocho?" Kaizo berucap dengan nada bimbang. Merasa tak enak karena mencurigai sepupu teman sendiri.

"Tindakan mereka sangat mencurigakan. Aku yakin mereka tahu mengenai iblis biru itu." Ocho berucap tegas. Ia benar-benar yakin akan keraguannya pada perjumpaannya dengan kelima pemuda itu.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

Ocho terdiam, berpikir rencana yang cocok. Lalu melihat ke arah Kaizo dan menjentikkan jari. "Aku butuh bantuan kapten soal itu."

Dahi Kaizo sedikit berkerut. "Apa itu?"

.

.

.

"Apa kita gak akan kembali kerumah?" Blaze bertanya. Ia menatap satu-persatu pemuda di hadapannya dengan raut penasaran. Ice mengangkat bahu tanda tak tahu. Sedangkan Gempa justru menatap Solar. Menandakan mereka disini karena katanya Solar punya rencana.

Solar berdehem. "Kalian harus tetap disini karena bisa saja kalian dimata-matai."

Mereka mengangguk, mengerti perkataan Solar. Mereka pasti tengah dicurigai semenjak Gempa tak sengaja menyebutkan nama Taufan saat itu. Dan pihak kerajaan akan terus mencari tahu tentang hal itu. Apalagi Ocho yang terakhir terlihat dengan tatapan curiga.

"Lalu, kita harus apa? Taufan bahkan tak kunjung muncul." Blaze menghela nafas lelah. Ia memilih menyender di kursi miliknya.

Mereka sekarang berada di perpustakaan milik Solar. Solar hanya punya perpustakaan mini, tidak seluas perpustakaan kota namun cukup rapi dan lengkap.

"Kita tunggu sampai dia muncul." Solar mengintruksikan seperti itu dan mereka hanya bisa pasrah. Sedangkan Ice sendiri tengah menatapi Thorn. Seperti ingin membicarakan sesuatu namun ragu.

"Sebenarnya aku..."

Mereka semua menoleh ke arah Ice yang angkat bicara. Menunggu lanjutan dari kata-kata Ice yang menggantung.

Ice menggigit bibirnya. "Sebenarnya aku mencium bau Taufan sejak beberapa hari yang lalu."

"Eh?"

Gempa memegang kedua bahu Ice. "Benarkah? Kenapa tak bilang?"

"Tapi itu masalahnya..." Ice menggantungkan kalimat lagi. Membuat Solar berdecak kesal. "Apa masalahnya?"

Ice mulai terlihat ragu. "Walaupun samar, aku mencium bekas bau Taufan ditubuhnya Thorn."

"Ditubuhnya Thorn?" Ulang Blaze dengan nada bingung dan langsung menoleh ke arah Thorn yang juga memasang tampang bingung.

"Apa maksudmu?" Gempa bertanya lagi. "Artinya Thorn pernah bertemu dengan Taufan." Solar yang menggantikan Ice menjawab.

『 Takdir 』 BoBoiBoy ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon