Chapter 18

729 125 40
                                    

"Gempa kabur?"

Solar terlihat frustasi. Bukan mengapa, baru saja hendak datang untuk menenangkan pemuda itu, kini malah tidak ada di kamarnya. Thorn sibuk menghentikan pemuda itu mengamuk. Yang lain kocar-kacir mencari Gempa, namun tidak menemukannya dimana pun.

Kabar ini terdengar sampai ke telinga Kaizo yang baru akan memulai pencarian. Mereka semakin resah, kini malah adiknya lagi yang hilang. Kaizo dibuat terburu-buru untuk segera melakukan pencarian. Dengan berbekal rencana matang dan pasukan yang mumpuni, mereka berangkat dengan mantap hati.

Ice terlihat murung, meski kesal, ia jelas tidak menunjukkannya seperti Blaze atau Solar. Kembarannya kini mengamuk dan hendak menyusul Gempa, namun di tahan dan di kurung dalam kamar. Meski Ice berada diluar kamar, ia bisa mendengar teriakan frustasi Blaze.

Halilintar dan Gempa adalah anak-anak yang mandiri. Mereka berdua sama sekali tidak pernah meminta kepada keluarganya yang lain semenjak orang tua mereka dilahap habis oleh iblis. Bahkan mereka memilih hanya tinggal berdua saja.

Keluarga lain bukannya acuh tak acuh, mereka tidak ingin terlalu meng-iba-kan nasib kakak beradik itu. Hingga muncul jurang besar diantara mereka semua. Baik Halilintar dan Gempa dengan Blaze dan Ice, maupun dengan Solar dan Thorn.

Melihat mereka datang dengan kemauan sendiri saja sudah membuat sepupu mereka bahagia. Setidaknya, mereka bisa melakukan sesuatu untuk sepupu mereka.

"Aku ... tidak bisa apa-apa ...."

Ice menggigit bibirnya. Menahan air mata yang hendak jatuh.

Dan kini, kedua kakak beradik itu malah akan mengalami hal yang sama dengan kedua orang tuanya.

"Payah ..."

Ia mengejek dirinya sendiri. Menenggelamkan kepala pada lipatan tangan di kakinya. Tidak bersuara lagi, hanya sunyi yang terdengar. Meski begitu, Ice tetap berharap bahwa mereka akan kembali.

Akan kembali seperti saat itu, saat Gempa terkunci di lemari pakaian dan Halilintar yang berada di luar.

.

.

.

Ocho berjalan, dengan langkah kecilnya, menyusuri koridor yang sepi. Matanya melirik kiri dan kanan sebelum berhenti di sebuah pintu. Setelah mengetuk tiga kali, sahutan terdengar dari dalam.

"Mau apa kau kesini?" Baru saja ia masuk, sudah disuguhi kecaman oleh sang pemilik rumah. Solar menatap sinis, tidak suka dengan kehadiran pemuda berambut pirang di hadapannya ini.

Ocho terkekeh, berjalan dengan santai masuk ke ruangan dan menutup pintu. "Hanya ingin berbincang."

Solar menghela nafas. Tatapannya tak lepas dari lelaki yang tubuhnya bahkan lebih pendek dari Solar. "Aku tidak punya sesuatu untuk dibincangkan. Lebih baik kau segera pergi."

"Ah, jangan kejam begitu. Bukankah kau menyembunyikan banyak hal?"

Solar mengerutkan dahi. Merasa curiga dengan perubahan nada Ocho yang terasa memaksa. "Menyembunyikan apa maksudmu?"

"Tentu, soal Gempa dan iblis yang sekarang sedang menjadi buronan." Ia melangkah maju dengan menunjukkan selebaran yang isinya wajah Taufan dan harga tinggi jika berhasil mengambil kepalanya. "Dan bocah yang kalian sebut sebagai Taufan."

"Omong kosong! Sekarang kepalaku pusing karena Gempa menghilang, dan kau malah mengintrogasiku soal ini." Solar mengambil kertas selebaran itu dan merobeknya. "Pergi," ujarnya dengan nada yang terdengar tak suka.

Lagi-lagi Ocho terkekeh, senyumannya yang biasa saja kini berubah menjadi seringaian. "Sayangnya aku takkan pulang sebelum mendapat yang kumau." Ia mengambil sesuatu di balik baju jubahnya dan menunjukkan sebuah buku yang sangat Solar kenali. "Bukankah begitu, tuan muda Solar?"

『 Takdir 』 BoBoiBoy ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя