Chapter 21

626 131 46
                                    

"AAAAAA!!!"

Teriakan melengking itu berasal dari ruangan Taufan berada. Gempa panik, ia langsung saja berlari meski tangannya di borgol. Ia melewati para penjaga yang panik mendengar suara teriakan itu.

Di dalam sana, ada Taufan yang meringkuk dengan darah di mulutnya. Lalu dua penjaga yang tadi di suruh Ocho mengawal Taufan, tidak sadarkan diri di lantai.

Gempa melotot tak percaya. Lantas, siapa yang tadi berteriak?

Taufan menegakkan tubuhnya meski bergetar. Kepalanya ia torehkan ke arah Gempa yang terdiam di ambang pintu.

Taufan memberikan senyum tipis.

"G-Gem ... pa ...," lirihnya, sangat tipis.

Gempa terdiam, menatap tidak percaya dengan Taufan yang baru saja menyebut namanya. Mata Gempa sontak berkaca-kaca. Ia mendekati Taufan dengan tatapan menuntut.

"Taufan, kau ... bisa bicara?" ungkapnya masih tak percaya.

Taufan tersenyum tipis. Tidak menjawab lagi setelah berhasil menyebut nama Gempa dengan suaranya yang pertama kali keluar.

Tangan Gempa yang masih terborgol itu terulur pelan. Menyentuh pipi Taufan dan mengelusnya, tidak bisa menahan senyum senang yang ia tahan sedari tadi.

Hanya dengan namanya dipanggil seperti itu. Membuat hatinya berbunga-bunga.

Para prajurit datang. Lalu menyeret Gempa dan Taufan dari sana.

"Kita bawa saja, toh Ocho menyuruh kita membawa iblis ini jika sudah selesai dengan tabib," ujar salah satu pengawal. Pengawal yang lainnya pun mengangguk setuju, "Dia sudah terlihat baik-baik saja."

Tangan Taufan diborgol. Meski bisa berjalan, tubuh Taufan terlihat sesekali terhuyung. Matanya meredup, seolah dipaksakan untuk sadar. Mereka semua digiring masuk dalam ruang basement yang cukup jauh dari tempat awal. Setelah mereka semua masuk, borgol tadi di lepaskan dan mereka dikunci dari luar.

Gempa otomatis langsung menghampiri Taufan yang tidak baik-baik saja. Taufan menyenderkan tubuhnya ke dinding. Mencoba menetralkan deru nafas yang tidak karuan. Bahkan tubuhnya keringatan. Gempa panik, ia mengecek tubuh Taufan. "Apa yang terjadi padamu, Taufan?"

Saudara mereka yang lain menghampiri, termasuk Halilintar yang menatap Taufan tak percaya. Ia berjongkok, mengelap mulut Taufan yang berdarah itu dengan kain yang dirobek dari bajunya.

Taufan mulai terlihat bernafas dengan normal. Meski degup jantungnya masih cepat, Taufan sudah terlihat diam. Gempa menarik Taufan, membuat Taufan bersender ditubuhnya. Taufan menarik nafas dalam lalu menghembuskannya.

"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Ice, berdiri di samping Blaze dan Thorn yang hanya diam memperhatikan.

"Sebenarnya, apa yang sudah terjadi?" Blaze bingung dengan yang terjadi barusan. Melihat Taufan seperti ini, tidak mungkin dia disiksa sampai mengeluarkan darah dari mulut, kan?

Gempa mengelus surai coklat Taufan dengan lembut. Ia menatap Blaze lalu menggeleng.

Halilintar berdiri dari jongkoknya dan berjalan ke arah pintu. Ia menendang pintu itu sekuat tenaga namun tetap saja sia-sia. Ia mengumpat pelan, memukul pintu itu dengan kepalan tangan. Manik rubynya bergetar, bingung dengan semua kejadian yang terjadi begitu cepat.

"Tadi ... Taufan menyebut namaku," gumam Gempa. "Bukan dari pikiran, tapi dia benar-benar berbicara dengan mulutnya." Mata Blaze sontak melotot tak percaya, "Bohong, kita kan tahu kalau Taufan bisu."

"Bagaimana mungkin?" sahut Thorn tak percaya. Mereka semua lantas memandangi Taufan yang tengah terlelap di pelukan Gempa. Taufan mendengkur halus, meski banyaknya keringat yang bercucuran di wajahnya. Halilintar kembali menghampiri mereka, duduk di sebelah adiknya.

『 Takdir 』 BoBoiBoy ✔Where stories live. Discover now