Dylan 11 - Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

82 10 0
                                    

Pagi yang cerah dan suasana hati yang gembira. Raya bersenandung ria didalam mobil. Entah mengapa sejak kemarin ia merasa sangat bahagia. Risma melirik Raya dengan tatapan ngeri.

“Bahagia banget kamu, Ray.”

Raya berhenti bersenandung lalu menoleh menatap sang Kakak. “Keliatan banget ya Kak?” ujar Raya dengan semburat merah di pipinya.

“Liat muka kamu udah pasti ada sesuatu. Kemarin ada apa sampai bikin kamu senyum-senyum gini.” ujar Risma.

“Kamu punya cowo ya?” selidik Risma dari ekor matanya.

Wajah Raya semakin merah padam. “Apaan sih Kak! Raya mana mungkin—” Raya menegak saliva kasar.

“Kenapa? Mana mungkin apa?” Risma terus saja mengintrogasinya, bermaksud menggoda Raya.

“Udah ah Kak. Raya hampir telat nih. Cepetin kecepatannya.” alih-alih mengalihkan pembicaraan Raya menatap jalanan yang mulai padat dengan pikiran melayang.

Risma terkekeh kecil. Sudah cukup dia tidak akan lagi menggoda adiknya lagi.

“Kak,” panggil Raya.

“Apa.” Risma membelokan stir mobil menuju jalan SMA Angkasa.

“Papa sama Mama ... kenapa gak pulang-pulang. Mereka tau keadaan Raya?” Raya menoleh mendapat Risma yang bungkam tidak menjawab. Malahan perempuan berpakaian formal itu menghidupkan radio dan mengeraskan volume.

Raya menunduk. Menahan air mata yang hendak tumpah. “Mereka udah nggak sayang Raya lagi ya, Kak.”

“Raya cukup!” bentak Risma membuat Raya terkejut. Pasalnya baru kali ini Risma membentak Raya dalam seumur hidup.

Risma merasa menyesal telah membentak adiknya. Ia sangat tau gimana perasaan Raya. Dulu, sejak mereka kecil kedua orang tuanya hanya mementingkan Risma daripada Raya. Ya, sejak Raya lahir Raya sudah ditakdirkan dengan penyakit mematikan itu. Sedangkan Risma, perempuan itu memeliki fisik yang kuat sehingga orang tuanya selalu memprioritaskan Risma. Bahkan kelak jika Risma sudah tumbuh dewasa mereka akan mewariskan perusahaan milik orang tuanya kepada Risma.

Raya sangat membutuhkan kasih sayang dan semangat dari orang tuanya. Dimasa ia sakit selalu saja Risma yang berada disampingnya setiap kali ia membuka mata. Kemana orang tuanya. Kenapa mereka tidak disana. Kenapa mereka tidak sayang kepadanya.

“Kalo mereka ada disini. Raya mau kita pergi ke puncak dan BBQ, pasti asyik.” ia tersenyum lebar seraya menoleh sejenak ke Risma lalu menatap jalan. “Cuma satu keinginan sebelum Tuhan ambil nyawa Raya. Raya mau kita kumpul bareng lagi kata dulu, ngelakuin hal seru sampai lupa waktu.”

“Raya,”

“Raya bersyukur sekarang masih punya Kakak yang perduli sama keadaan Raya. Jujur aja mereka ngelakuin hal itu supaya Raya senang kan Kak? Mereka nyari uang supaya Raya cepet sembuh kan Kak?” Raya menatap Risma dengan pandangan sayu.

Mobil mereka terjebak macat. Risma menoleh pandangannya ke samping, tidak berani menatap Raya. Hati Risma terasa dicabik-cabik. Pada kenyataannya takdir tidak bisa di ubah kembali. Mereka harus mengalami pendewasaan tanpa pengawasan orang tua.

Detik demi detik, menit demi menit. Mobil mereka melesat dengan kecepatan sedang. Suasana dalam mobil hening, Risma terus diam tanpa menjawab semua pertanyaan Raya. Pikirannya berkecamuk hebat.

Mereka telah telah tiba di SMA Angkasa. Sebelum Raya membuka pintu mobil, Risma menarik tubuh ringkih Raya kedalam pelukan.

“Kakak minta maaf kalo setiap kali kamu butuh Kakak selalu nggak ada. Raya percaya sama Kakak. Suatu saat kamu bisa wujudin keingin kamu, Kakak tau itu. Dan satu lagi, jangan pernah ngomong tentang kematian. Cuma Tuhan yang tau kapan kita akan kembali kesisinya. Kamu ngerti kan maksud Kakak?”

 [✔] DylanWhere stories live. Discover now