Dylan 32 - Keadilan

58 7 2
                                    

Kepala Sekolah SMA Angkasa mengadakan rapat dadakan. Para staf dan guru berkumpul di ruang meeting. Mereka akan membicaran suatu hal penting. Atas usulan Pak Yono agar David dan Devka turut hadir di setujui oleh sang kepala sekolah.

"Selamat pagi. Saya minta maaf untuk rapat dadakan hari ini sehingga aktifitas kbm ditunda selama 30 menit ke depan. Saya akan langsung pada intinya. Mengenai ujian nasional yang akan di selenggarakan 2 minggu lagi dan mengenai siswa berprestasi Dylan Nauta Morven harus kami keluarkan dari sekolah karena sekolah tidak bisa menerima siswa yang terkena gangguan jiwa. Dylan menjadi penghalang bagi sekolah sebab ujian terus saja diulur." ujar Pak Ramlan—kepala sekolah telak.

David dan Devka membulatkan mata. Mereka sangat terkejut dan tidak bisa menerima jika Dylan di keluarkan dari sekolah.

"Gak bisa gitu dong, Pak! Dylan sehat-sehat aja, kok. Dia nggak gila!" bela David marah.

"Betul, Pak. Dylan nggak gila. Dia cuma lagi sakit aja." bela Devka.

"Maaf David, Devka keputusan sekolah tidak bisa di ganggu gugat. Bapak sudah tau jika psikis Dylan terganggu yang mana mental dan jiwa Dylan tidak stabil." tegas Pak Ramlan.

"Benar apa yang dikatakan Pak Ramlan. Dylan sudah tidak bisa kami anggap sebagai siswa SMA Angkasa karena sudah gila bahkan dia dimasukan ke Rumah Sakit Jiwa. Jadi apa namanya jika bukan gila?" kata Bu Widi menyulut emosi David.

David menggebrak meja berbahan kayu jati dengan sangat marah. Ia tidak bisa saja ketika Dylan dianggap semua orang gila. Dylan tidak gila. Emosi Dylan tidak stabil sehingga menyebabkan Dylan hampir bunuh diri.

"Saya nggak terima teman saya di perlakukan semena-mena sama kalian. Jangan anggap kalian adalah guru jadi saya harus merasa segan dan takut dengan kalian!" marah David.

"David, jika kamu membantah aturan yang sudah saya buat maka kamu juga harus menerima konsekuensi nya." geram Pak Ramlan.

"Saya nggak takut. Silahkan kalau bapak mau mengeluarkan saya. Tapi saya juga berhak mendapatkan keadilan untuk teman saya." ujar David dengan nada menantang.

"Kamu—"

Tok tok

Suara pintu terketuk dari luar. Percakapan sinis antara pemimpin sekolah, guru dan murid terhenti. Mereka menolehkan kepalanya ke arah pintu dan muncul Kakek Wijaya.

"Mohon maaf, Pak, kami sedang rapat. Kalau bapak ingin bertamu silahkan tunggu kami selesai rapat." sela Pak Ramlan.

Kemunculan Kakek Wijaya membuat mereka terkejut sekaligus bingung.

Kakek Wijaya bersimpuh di depan pintu dengan kedua tengan menyatu di depan dada. Wajah yang sudah keriput itu menatap penuh melas ke arah Pak Ramlan. Kakek Wijaya menangis.

"Saya perwakilan dari Dylan mohon beri keringanan buat Dylan, Pak. Dylan berhak mengikuti ujian dan lulus bersama teman-temanya. Saya ingin melihat cucu saya merasakan kelulusan seperti anak-anak lain. Saya mohon, Pak. Dylan sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dylan pasti akan sembuh dan akan mengikuti ujian nasional." Kakek Wijaya menangis dan bersujud di atas ubin dingin.

"Saya hanya ingin melihat senyum cucu saya setelah sekian lama. Sebagai wakil anak itu saya mengharapkan sekali Dylan melanjutkan hidupnya. Hati Kakek mana yang tega melihat cucunya sendiri hampir bunuh diri,"

Devka menghampiri Kakek Wijaya, membantunya berdiri. "Bangun, Kek, jangan kaya gini. Kita pasti bakal minta keadilan buat Dylan."

"Tidak, nak. Kakek sendiri yang ingin meminta keringanan untuk cucu Kakek." Kakek Wijaya masih tetap bersimpuh sebelum mendapatkan keadilan untuk cucu satu-satunya.

 [✔] DylanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang