02. Prahara Kaos Kaki Terbang

2.1K 299 20
                                    

          Siang itu terasa agak timpang

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

          Siang itu terasa agak timpang.

Tak biasanya, saat Jafar tiba di rumah, keadaan enggak sericuh biasanya. Tampak santai dan lenggang. Hanya ada suara televisi yang cukup nyaring terdengar dari ruang tengah―menayangkan kartun dua bocah botak yang tak kunjung tumbuh besar, padahal seingatnya, Jovan baru lahir saat acara itu mulai ditayangkan pada televisi lokal. Dua tahun lagi anak itu bahkan akan masuk SMP dan si tokoh masih saja di taman kanak-kanak. Dan bocah yang dibicarakan pun tengah asik menonton sambil mencomot camilan dari stoples yang dipegang oleh abangnya yang lain, Nolasano.

"Tumben enggak ada huru-hara," kata Jafar setelah melepas sepatunya dan berjalan masuk. Kedua kakak-beradik yang berada di depan televisi, secara spontan menoleh ke arahnya sepintas, lalu kembali menekuni tayangan pada alat elektronik berbentuk persegi panjang di depan mereka. Jafar melanjutkan, "Ke mana si pembuat onar? Enggak mungkin anak itu lagi tidur siang, 'kan?"

Ketika Sano menanggapi dengan satu kedikkan bahu, Jovan buru-buru menelan kunyahan keripiknya dan menyahut, "Lagi ada tambahan pelajaran."

Dahi Jafar berkerut sesaat, ia lantas menjatuhkan tubuh sejenak di lengan sofa dan turut mencomot keripik dari stoples. "Kenapa kelas tiga udah ada tambahan pelajaran? Harusnya kamu, Jo, yang dapat tambahan pelajaran. 'Kan mau kelas enam?"

Jovan mencebik sepintas, menyelonjorkan kaki sambil menopang kepala menggunakan kedua tangan dengan gaya sok keren. "Kelas lima enggak sebandel kelas tiga, makanya enggak dapat tambahan pelajaran."

Mata si sulung nomor dua menyipit. "Maksudnya bandel?"

"Kelas tiga tuh dihukum, Bang. Ada yang buat ulah waktu ulangan tengah semester kemarin. Jadi, sekelas dapat imbasnya, deh."

"Bukan Riki, 'kan?"

Sesaat Jafar sudah mau jantungan kalau-kalau Jovan bilang benar. Tapi saat satu gelengan diberikan oleh adiknya, cowok itu membuang napas lega dengan begitu kentara.

Kalau saja betulan Riki yang sampai buat ulah, Jafar enggak mau lagi menghadap gurunya dan mungkin akan minta sama Mami untuk setuju mengurus kepindahan Riki dari sekolah saja. Meskipun pintar, tapi kalau suka membuat masalah, Jafar pasti akan merasa sangat malu juga. Terlebih, ia dan Hesa adalah alumni dari sekolah dasar tersebut.

Kalau membicarakan keonaran apa yang sudah dibuat Riki selama sekolah, Jafar paling ingat insiden sepeda ambruk yang membuatnya dan Hesa nyaris dimintai uang ganti rugi. Saat itu, Mami dan Papi sedang pergi ke luar kota seperti saat ini, hanya saja cuma selama dua hari. Riki masih duduk di kelas dua, ia diminta mengikuti pertandingan sepak bola anak-anak dan berlatih di halaman sekolah yang cukup luas.

Sampai sekarang saja, Jafar bahkan masih suka heran lantaran kekuatan kaki yang dimiliki anak itu memang agak istimewa. Dibanding teman-teman seusianya, Riki bisa bermain bola dengan sangat baik. Ketepatan shooting-nya menjadi poin utama di samping cara menggiring dan mengoper bolanya yang sudah lumayan mahir.

BUNGSUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora